Pasal Karet, Hukum Koruptor Makin Enteng

Alvin Sanatain (Mahasiswa Stisipol RH).

Penulis: Alvin sanatain (Mahasiswa StisipolRH

TANJUNGPINANG, RADARSATU.COM – Baru ini Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah disahkan menjadi Undang-undang.

Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP berlangsung pada Selasa (6/12/2022).

Banyak pasal yang menarik perhatian public sehingga menyebabkan kerusuhan dan multitafsir dan makna-makna lain, Salah satu pasal yang disoroti oleh masyarakat ialah Pasal  yang mengatur tindak pidana korupsi. Pada pasal tersebut dijelaskan

“Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,” bunyi pasal 603.

“Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau Korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI,” bunyi Pasal 604.

Di tengah meningkatnya kasus korupsi, pemerintah dan DPR justru semakin memperingan hukuman bagi koruptor, bahkan bisa menjadi sebuah peluang bagi aparat penegak hukum melakukan (jual-beli) terhadap tersangka korupsi. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP. Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus. “Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu,”

pasal tersebut berpotensi digunakan secara semena-mena, mengingat rendahnya etika pejabat negara saat ini. Terutama, karena lebih sering memprioritaskan kepentingan oligarki, ketimbang kepentingan masyarakat. Kemunduran sebuah Negara demokrasi dimulai dari tidak didengarnya hak asasi manusia sehingga demokrasi keterwakilan Indonesia ini masih saja bersifat feodalistik.

Di luar itu, sikap komisioner KPK juga patut mendapat sorotan, Sebab,  pimpinan lembaga antikorupsi bahkan tidak menunjukkan sikap sama sekali. Hal ini berbanding terbalik dengan komisioner pada periode sebelumnya yang menyiapkan catatan kritis ketika akan diundang oleh Presiden untuk membicarakan masalah pasal tipikor dalam RKUHP. Masyarakat sangat berharap karuptor dapat dihukum seberat-beratnya, sangat miris ketika disahkannya KUHP malah menjadi ‘kado manis’ dan karpet merah bagi para koruptor untuk kesekian kalinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *