Indeks

Sampah Plastik: PR Indonesia

ALFITRI

Oleh ALFITRI (Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)

Ya. Sampah plastik adalah salah satu masalah atau pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Indonesia segera. Bayangkan sebuah rumah yang memiliki halaman luas dengan taman indah, dipenuhi berbagai jenis tanaman, bunga dan aneka satwa. Pemilik rumah ini bangga dengan tamannya. Namun, setiap hari, dari jendela rumah yang sama, pemiliknya membuang sampah ke taman indahnya sendiri. Perlahan tapi pasti, sampah itu menumpuk, menghimpit bunga, meracuni kolam, dan mengusir satwa.

Rumah itu adalah Indonesia, taman itu adalah kekayaan flora dan fauna di lingkungannya, dan sampah itu adalah plastik. Paradoks inilah yang menjadi inti dari krisis sampah plastik di Indonesia. Sebuah bangsa yang dianugrahi keanekaragaman hayati laut nomor satu di dunia, pada saat yang sama, menjadi salah satu penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar di planet ini.

Bagaimana masalah sampah plastik ini terjadi? Inputnya sangat kuat, didorong oleh 280 juta lebih penduduk, urbanisasi dan dinamika ekonomi yang cepat, dan pergeseran budaya menuju konsumerisme. Ditambah lagi dengan fenomena “ekonomi dan budaya saset” yang merajalela. Tersedianya aneka produk dalam kemasan sekali pakai yang sangat terjangkau namun sulit dikelola.

Sementara itu, infrastruktur pengelolaan sampah berjuang keras untuk mengejar laju timbulan sampah. Perilaku masyarakat belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan pemilahan dan pengelolaan yang bertanggung jawab. Dan regulasi, meskipun ada, seringkali lemah dalam implementasi dan penegakan hukum. Outputnya? Batam, misalnya, kewalahan dengan sampah ini.

Kompas.id (07/06/2024), misalnya, memberitakan bahwa Batam menghadapi masalah sampah yang pelik. Setiap hari sebanyak 1,2 juta warga Batam menghasilkan sampah sebesar 1.200 ton.  Dari jumlah itu, sekitar 900 – 1000 ton diangkut ke tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Telanga Punggur. Masalahnya, banyak armada truk sampah yang tidak layak lagi dan terbatasnya luas TPA. Mengacu ke data nasional, hampir 18 % sampah itu adalah sampah plastik.

Pertanyaannya, mengapa ada jurang yang begitu lebar antara kekayaan lingkungan alam yang kita miliki dan cara kita memperlakukannya? Di mana letak kegagalan sistemik yang menyebabkan kondisi ini? Kita tentu tidak bisa menyederhanakan masalah dengan menyalahkan individu yang “kurang disiplin”.

Realitasnya jauh lebih kompleks, dan melibatkan tanggung jawab perusahaan yang memproduksi kemasan, kegagalan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai dan menegakkan aturan, serta lambannya norma sosial yang terbentuk terkait itu. Akan tetapi, mengakui realitas yang tidak menyenangkan ini adalah langkah pertama yang krusial.

Indonesia menghadapi tantangan sampah plastik dengan skala yang mengkhawatirkan. Ini sepadan dengan ukuran populasi dan geografinya yang luas.sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 270 juta penduduk, volume sampah yang dihasilkan setiap hari sangat besar. Data nasional menunjukkan gambaran yang serius tentang situasi ini. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024 mencatat timbulan sampah mencapai 27, 74 juta ton. Sementara itu, laporan Bank Dunia menunjukkan angka yang lebih tinggi lagi yakni 65, 2 juta ton (Tempo.co, 23/02/2025).

Komposisi sampah plastik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi masyarakat, terutama di tingkat rumah tangga. Studi dan laporan lapangan menunjukkan bahwa jenis plastik bernilai rendah (low value plastics), seperti kantong plastik (kresek), kemasan saset, dan styrofoam, sangat dominan dalam aliran sampah (World Bank, 2021). Hal ini berbeda dengan beberapa negara maju di mana botol PET atau HDPE mungkin lebih dominan.

Fenomena “ekonomi saset”, di mana produk mulai dari sampo, deterjen, hingga kopi dijual dalam kemasan kecil sekali pakai, menjadi pendorong utama timbulan sampah plastik yang sulit didaur ulang. Kemasan ini, meskipun memberikan akses produk bagi masyarakat berpenghasilan rendah, secara inheren tidak dirancang untuk ekonomi sirkular. Akibatnya, saset dan aneka kemasan plastik sekali pakai lainnya seringkali menjadi sampah yang mencemari lingkungan.

Sumber utama sampah plastik di Indonesia dapat ditelusuri ke tiga sektor utama, yaitu rumah tangga, pasar tradisional, dan industri. Rumah tangga, sebagai unit konsumsi terkecil namun dengan jumlah terbanyak, secara kolektif menjadi kontributor terbesar sampah plastik pasca konsumsi (Purwaningrum, 2016). Pasar tradisional juga merupakan sumber signifikan, menghasilkan sampah dalam jumlah besar dari aktivitas perdagangan harian, terutama kantong plastik dan kemasan makanan.

Sektor industri, baik manufaktur maupun jasa, juga berkontribusi melalui limbah kemasan produk, logistik, dan operasional. Aliran sampah dari sumber sumber ini seringkali tidak terkelola dengan baik, dengan tingkat pengumpulan yang bervariasi dan tingkat kebocoran yang tinggi ke lingkungan, terutama ke sistem perairan.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target yang ambisius dalam Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Target tersebut adalah pengurangan sampah sebesar 30 persen dan penanganan sampah sebesar 70 persen pada tahun 2025 (Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017).

Namun, pencapaian target ini menghadapi tantangan besar. Data KLHK per tahun 2022 menunjukkan bahwa dari total timbulan sampah, baru sekitar 65 persen yang berhasil dikelola, sementara 35 persen sisanya masih belum terkelola dan berpotensi besar mencemari lingkungan. Kesenjangan antara target dan realitas ini menyoroti urgensi untuk mempercepat upaya perbaikan sistem pengelolaan sampah termasuk sampah plastik, secara nasional.

Sekaitan dengan itu, pemerintah daerah perlu lebih sigap lagi, termasuk mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pengelolaan sampah ini.  Selain itu, perlu digenjot keberadaan dan fungsionalisasi bank sampah. Pengelolaan sampah plastik berbasis komunitas perlu digerakkan dengan melibatkan setiap rumah tangga. Sejalan pula dengan itu, juga perlu dikembangkan kolaborasi multipihak dengan korporasi/perusahaan, LSM, perguruan tinggi, termasuk sektor informal seperti pengepul. Sinergi dari para-pihak tersebut akan sangat menentukan bagi keberhasilan Indonesia menyelesaikan PR sampah plastik ini.**

Exit mobile version