Indeks

Renungan Menjelang Ramadhan (Catatan Hendry Ch Bangun)

Hendry Ch Bangun, Ketua Umum PWI.

APAKAH kau harus bersedih, tidak. Apakah kau harus menangis, tidak. Apakah kau harus menyesali diri, tidak. Apakah kau harus menepi, tidak. Apakah kau menyerah, jelas tidak. Kau harus kuat karena kau bisa. Kau mampu. Semua masalah dunia akan ada akhirnya. Dan yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan. Wa lal akhiratu khairul laka minal ula.

Semua ini adalah jalan yang sudah kau rintis sejak awal. Yang kau tebas dahan dan kayunya. Yang kau bersihkan rumput-rumputnya. Yang kau ratakan tanahnya. Yang telah kau taburkan batu-batu, pasir, agar mudah ditapaki. Setidaknya kau tidak akan terantuk kesana kemari. Tidak terjerembab. Agar kau berada di jalan yang lurus ke arah yang telah kau pilih. Telah engkau tetapkan pada saat merancangnya.

Lakoni saja, apapun apa yang kau hadapi di tengah perjalanan. Kalaupun ada angin, janganlah goyah. Kalaupun ada hujan, nikmati saja. Itu adalah anugerah, agar tubuhmu yang kelelahan menjadi segar dan memberimu semangat. Kalaupun siang terasa panas terik, itulah pertanda sang surya menyemangatimu agar terus maju, dengan sinar yang dikirimkan sel-sel matahari untuk mengubah dinginmu menjadi tenaga.

Kelak kau akan sampai dengan selamat. Berapa lama, tidak ada yang tahu. Itu rahasia Dia. Yang sudah menetapkannya bahkan ketika kau masih berupa janin berusia tiga bulan di perut ibumu. Bukan ketika kau dilahirkan ke dunia, ketika menghirup udara pertama kali di sebuah rumah sakit di kota itu. Bukan pula ketika kau menjalani masa kanak-kanak bersama teman-teman seusia di gang kecil itu. Atau saat kau dengan berlarian menyurusi kebun tomat, kebun cabai, daun kol, tak jauh dari pohon cokelat, di balik bayangan gunung yang anggun, berwarna biru.

Tidak ada awal yang mudah. Dan yang akhir itu selalu nikmat. Jangan tergoda untuk berhenti walau sejenak. Teruslah bergerak. Maju. Dengan penuh yakin ada Dia yang selalu membantu dan diam-diam mendorong dan terus mendorong agar kau tidak lelah. Yang kadang seperti membasuh mukamu ketika terasa hendak berkerut karena mendadak mendapat kesusahan dari sekelilingmu. Orang-orang yang jahat. Yang mendzolimi. Yang suka memfitnah. Menusuk dari belakang. Menggunting dalam lipatan. Yang seperti menyatakan kebenaran tetapi sebetulnya itu kebohongan belaka.

Tidak usah putus asa. Ikhlas saja. Tentu sulit. Tawakal saja. Pasti tidak mudah. Kadang kita perlu belajar dari masa lalu untuk mengetahui beratnya sebuah perjuangan. Apakah Ibrahim tahu akan api yang membakarnya berubah menjadi dingin? Tidak. Tapi karena dia tawakkal, Allah menyelamatkannya. Apakah Musa tahu baginya akan dibelah lautan ketika dia dalam kejaran pasukan Fir’aun yang ingin membunuhnya, tidak. Dia hanya yakin akan diberi jalan keluar. Dia tawakal, dan selamat. Apakah ada yang langsung senang, bahagia, berhasil, sukses tanpa terjungkal? Tidak ada. Kesulitan itu bagian dari jalan hidup manusia.

Semua ada ujiannya. Kalau hanya ingin ijazah SD, mungkin mata pelajaran yang harus kau kuasai hanya tujuh. Tetapi kalau kau ingin lulus SMP, ada lagi ilmu yang harus kau baca, hapalkan, tanamkan di dalam pikiran, mungkin jadi sebelas. Ujiannya jelaslah berbeda.

Saat ini kau mungkin sudah memiliki sertifikat magister, artinya sudah banyak yang kau jalani, pelajari, dan sukses melewati ujiannya bertahun-tahun yang lalu. Sudah banyak ilmu kau kantongi, kau hayati, kau jalankan dalam sekian puluh tahun umurmu. Jadi sebenarnya kau sudah lulus. Dulu.

Mungkin kau sudah lupa kesulitan yang kau dapat waktu itu karena kau tengah menikmatinya. Cobalah ingat. Renungkan. Waktu itu kau kesulitan juga kan? Waktu kau kesal juga kan? Kau hampir putus asa juga kan? Tetapi karena kau percaya kepadaNya. Karena kau tidak menyerah dan yakin bahwa apa yang kau perjuangkan adalah benar, akhirnya kau bisa menghadapinya, dan lulus. Kau berhasil. Kau naik kelas. Harkat dan martabatmu meningkat.

Mungkin saja kau merasa semua sudah selesai. Tidak.

Kau berada di tempat banyak orang kepingin menikmatinya, walau kau anggap itu biasa saja. Kau pikir kursimu itu biasa. Bagi orang lain itu kursi emas. Bahkan tangga untuk naik keposisi lain. Kau ternyata sudah ada di pucuk. Di atas rata-rata kebanyakan orang. Dan bagi sebagian orang, itu adalah kemewahan luar biasa. Kuasa luar biasa. Bahkan popularitas luar biasa.

Tidak sedikit yang ingin kau perhatikan, kau hormati, karena telah ikut membantu kau berada di sana. Berjasa kepadamu. Tidak bisa kau anggap mereka tidak ada. Mereka eksis dan juga ingin menikmati apa yang kau capai.

Terima kasih saja tidak cukup. Mungkin kau kurang membungkuk. Kurang mendekapkan tangan. Kau kurang merendahkan diri. Maka seharusnya kau sudah tahu risikonya. Benih-benih kebencian itu secara pelahan membesar dan membesar.

Orang yang ingin duduk di kursi itu, tidak peduli kapasistasnya. Dunia ini dipenuhi orang-orang yang tidak tahu ukuran bajunya. Yang tidak mengerti ukuran sepatunya. Yang tidak mengerti ukuran kursi yang semestinya dia tempati.

Di dunia yang semakin bising dengan bisikan setan karena besarnya godaan materi, yang kian tidak jelas siapa yang ahli dan siapa yang bermodal mulut saja. Yang hanya mencatut kalimat di dalam aturan sesuai kepentingannya dan merasa menguasai masalahnya. Dan bersikeras untuk mempertahankannya. Kau mestinya tahu dan tidak menganggap ini dunia kanak-kanak yang semua tahu diri, tahu posisi, dan saling membantu dalam kebaikan.

Kata Sapardi Djoko Damono ketika sempat berkunjung ke New York di masa mudanya, dunia kita adalah dunia baja. Bukan hanya karena gedung-gedung tinggi yang berdiri angkuh. Tetapi juga karena bangunan itu bagaikan mahluk yang menepuk dada, merasa besar, unggul, sampai nanti ada yang lebih tinggi di sebelahnya.

Dunia baja, dunia yang keras dan tidak kenal ampun, meski di New York sana ada taman Central yang hijau dan ramah, tempatmu bisa berteduh, berolahraga, dan menarik nafas untuk menenangkan hati.

Kau tidak harus menjadi baja. Karena kau adalah manusia. Yang dididik tahu diri, selalu bersyukur, menghormati siapun, dan berterima kasih karena telah diberikan nikmat yang begitu banyak. Tetaplah menjadi orang yang jalan sambil menundukkan kepala. Tetaplah tersenyum ketika menyapa. Tetaplah merasa biasa. Sejajar dengan teman-teman yang duduk semeja, sepekerjaan, kolega. Karena kemulian itu tidak ditentukan status tetapi ketakwaan kepadaNya.

Memang tidak perlu ada yang disombongkan. Karena kita tidak tahu nyawa ini diberi Tuhan sampai kapan. Tidak tahu sampai kapan bisa bernafas. Kalau besok nyawa kita dicabut dan disuruh pulang, sementara begitu banyak yang hatinya kau sakiti dan tidak sempat meminta maaf, sia-sia semua yang kau buat. Ibadah-ibadahmu jadi percuma, zikir tengah malammu tidak lagi bermanfaat, sedekah subuhmu sia-sia. Mau begitu? Tentu tidak. Lurus saja.

Yang menjadi persoalan adalah kita tidak sabar dan selalu ingin mendapat jawaban yang cepat. Ingin tahu bagaimana akhir dari skenario hidup yang diberikan Sang Pencipta. Ingin semua jelas terbentang di depan mata. Agar tidak cemas, tidak khawatir.

Apalagi ketika kita merasa beban tiba-tiba berat, lupa pada kalimat “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, tidak akan pernah manusia diujiNya bila seseorang itu tidak mampu menjalaninya. Sabar saja. Semua akan indah pada waktunya.

Menuju Ramadhan yang mulia, tentu kau harus introspeksi. Men-delete kekurangan. Minta maad kepada diri sendiri dan orang-orang dekat. Memperbaiki diri.

Meneguhkan pikiran dan akal sehat ke arah yang lebih baik. Kita sadar bahwa ternyata apa yang kita lakukan, jalankan, kerjakan, pikirkan, perbincangkan, setelah 1 Syawal lalu hampir seluruhnya urusan dunia. Kita sibuk. Kita terpukau pada hal-hal remeh temeh. Malulah pada diri sendiri dan padaNya. Ayo mohon ampun pada Dia yang telah menciptakanmu untuk menjadi makhluk yang mengabdi padaNya.

Wallahu a’lam bhisawab.

Ciputat 23 Februari 2025.

Exit mobile version