Cukupkah Hidup dengan UMK di Daerah Berlabel Ibu Kota?

Kota Tanjungpinang, yang merupakan ibukota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). (Foto: Shutterstock)

TANJUNGPINANG, RADARSATU.COM – Berlabel Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Kota Tanjungpinang menyimpan berbagai cerita bagi para pekerja.

Terutama, bagi para buruh yang hidup dengan mengandalkan gaji Upah Minimum Kabupaten/kota (UMK). Bahkan, ada juga yang bargaji jauh di bawahnya. Hal ini juga yang masih menjadi refleksi pada Peringatan Hari Buruh Nasional 2024.

UMK Tanjungpinang

Hingga kini, UMK Kota Tanjungpinang justru terbilang rendah dibandingkan beberapa daerah lain di provinsi yang sama. Padahal labelnya sebagai pusat administrasi dan pemerintahan sebab sebagai Ibu Kota.

Misalnya saja Kota Batam. Kota berjuluk Bandar Dunia Madani ini memang dikenal sebagai Kota Industri. Perputaran ekonominya pun terbilang tinggi.

Pada akhir 2023 kemarin, Pemprov Kepri resmi menetapkan UMK kabupaten/kota. Kota Batam mendapat jatah UMK senilai Rp4.685.050, naik sebesar Rp184.610 atau 4,10 persen dari tahun sebelumnya.

Tak hanya Batam, UMK Tanjungpinang juga cukup jauh berbeda dari daerah tetangganya yakni Kabupaten Bintan. Padahal, keduanya berada di pulau yang sama.

Pemprov Kepri menetapkan UMK Kabupaten Bintan sebesar Rp3.950.950, naik sebesar Rp51.535, atau 1,33 persen dari tahun sebelumnya.

“Dari hasil rekomendasi Bupati/ Wali Kota se-Provinsi Kepri atas usulan Upah Minimum Kabupaten/Kota yang disampaikan, maka Dewan Pengupahan Provinsi melakukan Pembahasan untuk memberikan tanggapan, masukan, rekomendasi yang dilaksanakan pada rapat pleno DP Provinsi,” kata Gubernur Kepri Ansar Ahmad setelah penetapan, Jumat (01/12) lalu.

Dibandingkan kedua kabupaten/kota tetangga itu, UMK Kota Tanjungpinang paling rendah. Besarannya ialah Rp3.402.492 atau naik sebesar Rp123.297 dibandingkan tahun sebelumnya.

Cukupkah?

Lantas, cukupkah hidup bila mengandalkan upah kurang dari Rp3,5 juta itu di ibu kota?

Salah seorang warga Tanjungpinang, Fitriani (25) mengaku kewalahan bila hidup dengan UMK itu. Ia yang merupakan seorang buruh di salah satu perusahaan itu kerap kesulitan memenuhinya kebutuhannya di detik-detik menipisnya hasil gajian.

“Saya sudah 2 tahun kerja. Padahal Tanjungpinang ini ibu kota. Tapi upah jauh sekali. Apa-apa mahal. Buat kebutuhan saja masih kurang,” katanya.

Alhasil, ia pun harus memutar otak agar gajinya itu cukup untuk kebutuhan. Ia mengungkapkan, gaji yang ia terima sebagai buruh di sebuah perusahaan tidak sesuai dengan ekspektasi.

Misalnya saja dengan menjadi reseller parfum dan berhemat agar sesuai dengan kebutuhan.

Setiap bulan Fitriani hanya dibayar dengan gaji pas-pasan yakni sebesar Rp3,1 juta.

Belum lagi bila harus ada pemotongan pajak, BPJS, dan embel-embel lainnya dengan nominal tak sedikit. Akibatnya gaji yang ia terima paling tidak hanya Rp2 jutaan saja.

Jangankan gajinya, UMK 2024 kota Tanjungpinang saja masih terbilang gak ideal baginya. Membandingkan dengan Kota Batam, ia lebih tergiur bekerja di kota seberang itu.

“Kalau habis kontrak ini niatnya mau cari kerja di Batam,” kata dia.

“Benar-benar keteteran. Belum lagi bayar cicilan ini itu. Tapi ya namanya rezeki pasti ada aja. Yang penting berdoa dan masih di kasih kesehatan sama Allah swt,” tambah Fitriani.

Hal senada juga dikisahkan oleh karyawan lainnya di Tanjungpinang, Sandi. Ia berharap, kedepannya akan ada penyesuaian yang sebanding untuk UMK di Kota Tanjungpinang. Maka, tidak akan ada keluhan lagi dari para pekerja yang mengandalkan UMK.

“Katanya bisa naik. Semoga bisa. Cuma tidak tau naik berapa,” kata dia.

Kata Pj Wali Kota

UMK Kota Tanjungpinang yang menuai banyak keluhan nyatanya juga masih menjadi perhatian Pemkot Tanjungpinang. Penjabat (Pj) Wali Kota Tanjungpinang, Hasan mengakui bahwa UMK itu masih di bawah standar.

Menurutnya, rendahnya UMK itu menjadi salah satu penyebab angka kemiskinan masih cukup banyak.

Memang cukup berbeda dengan Kabupaten Bintan, tetangga Kota Tanjungpinang. Sebab, sektor industri dan berbagai lini usaha besar lain di Kabupaten Bintan terbilang aktif dan berjalan dengan baik. Berbeda dengan Tanjungpinang yang relatif lebih rendah.

“Kenapa di Bintan itu per kapita hanya Rp476 ribu, Tanjungpinang Rp770 ribu, ternyata di Bintan itu menerapkan UMK,” kata Hasan.

Sedangkan di sisi lain, penerapan UMK yang tinggi tidak bisa dipaksakan di Tanjungpinang untuk saat ini. Pasalnya, sektor industri dan UMKM belum memungkinkan untuk mengupah tinggi para pekerja.

“Karena memang di Tanjungpinang ini juga bukan daerah Industri, jadi jenisnya seperti penjaga toko, supermarket dan lain-lain gajinya tidak sesuai UMK, saya tidak tahu juga teknisnya,” tutur Hasan.

Maka dari itu, pihaknya berkomitmen untuk membenahi taraf ekonomi tersebut. Mulai dari optimalisasi sektor industri, pariwisata, kuliner, dan sektor lainnya yang memungkinkan untuk mendongkrak perekonomian.

“Seperti Akau itukan tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, makanya kita tata supaya bersih. Kita juga minta supaya harganya sesuai dan pasti bagi para pengunjung,” katanya.

Penulis: Muhammad ChairuddinEditor: Riandi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *