Potensi Resiko Program Makan Siang Gratis

Sartana, M.A. Dosen Psikologi Sosial Departemen Psikologi Universitas Andalas. (Foto: Radarsatu).

Penulis: Sartana, M.A. Dosen Psikologi Sosial Departemen Psikologi Universitas Andalas.

 

 

RADARSATU.COM – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Ini artinya, kebijakan makan gratis yang mereka janjikan saat kampanye akan diterapkan.

Program makan gratis ini pada dasarnya bagus. Ia memiliki pengaruh positif bagi kesejahteraan masyarakat, terutama untuk menangani kasus stunting. Terpenuhinya asupan nutrisi pada anak-anak dan ibu hamil juga potensial meningkatkan kesehatan fisik juga mental anak-anak dan generasi muda. Tentu, ini adalah investasi untuk masa depan yang baik.

Namun banyak warga masih bertanya-tanya mengenai biaya yang akan dialokasikan untuk mendukung program tersebut. Pertanyaan ini lumrah, mengingat program makan siang gratis tersebut akan menelan anggaran yang super jumbo.

Menurut informasi yang beredar, anggaran untuk program makan gratis itu mencapai 450 trilyun per tahun. Itu sekitar 14 persen dari total dana APBN Indonesia untuk tahun 2024 (3.325.1 triliun). Jumlah yang sangat besar dalam postur anggaran belanja negara yang ada.

Dan sejauh ini, belum jelas alokasi dana untuk membiayai program makan gratis tersebut. Dalam sebuah acara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, sudah memberi sedikit bocoran mengenai biaya untuk “mentraktir” makan siang gratis itu.

Ketua partai Golkar tersebut menyampaikan bahwa anggaran untuk makan siang gratis itu akan diambil dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana bos yang sebelumnya digunakan untuk kegiatan yang lain, nantinya akan dialokasikan untuk BOS spesifik atau BOS afirmasi untuk khusus menyediakan makan siang gratis. Walaupun usulan ini sudah ramai-ramai ditolak oleh banyak pihak.

Apabila cara seperti itu benar-benar digunakan untuk membiayai program makan siang gratis, maka program tersebut pada dasarnya menjadi semacam tipu-tipu belaka. Dengan kata lain, masyarakat sebenarnya tidak menerima makan siang gratis. Tetapi mereka “membayar” makan siang gratis itu dengan kehilangan manfaat dari program yang lainnya.

Tapi, di luar skema pembiayaan dengan otak atik anggaran itu, yang paling mungkin terjadi, pemerintah ke depan akan membiayai anggaran makan siang gratis itu melalui utang. Karena selain program makan siang gratis, pemerintahan baru juga telah merancang beberapa program unggulan lain yang berbeda dari pemerintahan sekarang.

Semua program ini akan membutuhkan alokasi anggaran baru, yang jumlahnya tidak sedikit. Jika hanya mengutak atik APBN yang ada, tanpa meningkatkan penerimaan negara atau mengambil utang baru, sulit bagi pemerintah untuk membiayai program-program unggulan tersebut. Dan di antara pilihan yang ada, menambah utang baru adalah cara yang paling mudah dan paling mungkin dilakukan oleh pemerintah.

Terkait pilihan terakhir ini, kita semua berharap tidak terjadi, tidak dilakukan pemerintah. Mengapa? Salah satu alasanya adalah karena utang Indonesia sudah menumpuk. Dalam catatan menteri keuangan, per Januari 2024, utang Indonesia sudah menembus 8.253,09 Trilyun. Utang ini setara dengan 38,75% produk domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Dan menurut para ekonom, ini merupakan utang Indonesia yang paling tinggi sepanjang sejarah. Tentu, kita tidak ingin, utang yang sudah banyak itu bertambah banyak, lalu anak cucuk kita terbelenggu oleh utang.

Selain itu, mengongkosi program makan siang gratis dengan utang itu tidak bijak, karena program itu adalah program yang bersifat konsumtif. Bukan program produktif. Artinya, program itu tidak akan menghasilkan “return”, imbal hasil. Membiayai program konsumtif melalui utang tentu akan membawa resiko serius bagi masa depan bangsa Indonesia.

Selain soal pembiayaan yang harus diputuskan secara bijak, ada hal lain yang juga perlu dipertimbangkan, yaitu dampak psikokultural program makan gratis tersebut. Sebagai program dengan penerima manfaat dalam jumlah sangat besar, juga menelan anggaran yang super jumbo, tentu program ini akan memiliki efek besar terhadap perilaku masyarakat. Singkatnya, kan ada perubahan perilaku masyarakat yang berlangsung secara massif akibat program ini.

Mengenai perilaku dan budaya apa yang akan terbentuk ini perlu dimitigasi secara lebih mendalam. Di Indonesia, sejauh ini, dampak atau resiko psikokultural sebuah kebijakan jarang dipertimbangkan. Padahal aspek ini juga sangat penting dan mendasar bagi kehidupan bangsa. Karena maju dan mundurnya sebuah bangsa juga ditentukan oleh karakter psikologis masyarakatnya.

Dalam konteks program makan siang gratis, bila tidak dikerjakan dengan perhitungan tepat, program ini potensial membentuk pola perilaku dan budaya yang buruk di masyarakat. Salah satunya, program ini mungkin akan memfasilitasi berkembangnya “mentalitas gratisan”, yaitu sikap atau pandangan yang cenderung menginginkan atau mengharapkan sesuatu secara gratis tanpa mempertimbangkan upaya untuk memperolehnya.

Dengan kata lain, anak-anak dapat kehilangan semangat kerja keras dan kemandirian mereka sebagai akibat program makan gratis tersebut. Mereka potensial mengembangkan kebiasaan atau harapan untuk mendapatkan barang juga layanan tanpa membayar atau bekerja. Pada taraf yang akut, ini dapat membentuk pribadi-pribadi pemalas.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah soal keadilan dan pemerataan. Tentang siapa yang berhak dan tidak berhak, yang lebih awal atau lebih akhir menerima makan gratis, juga soal kesamaan kualitas makanan yang dibagikan, juga potensial menjadi persoalan di kemudian hari.

Di level akar rumput, persoalan terkait bantuan apapun kerapkali lebih kompleks daripada yang kita bayangkan. Bantuan-bantuan dengan kriteria penerima atau proses pembagian yang tidak jelas rentan menimbulkan konflik horizontal yang dapat berujung pada rusaknya harmoni sosial.

Ini sudah sering terjadi. Setiap ada bantuan sosial di masyarakat selalu disertai dengan konflik-konflik sosial yang tidak mudah diselesaikan dalam jangka waktu pendek. Bahkan, kadang ia sampai diwariskan dari generasi ke generasi. Dan kejadian serupa juga sangat mungkin terjadi dalam proses pembagian makan siang gratis nantinya.

Mempertimbangkan beberapa potensi resiko demikian, maka penting kiranya sebelum program makan siang gratis diterapkan dilakukan mitigasi tentang dampak program tersebut bagi kehidupan masyarakat. Meskipun ia merupakan program yang baik, namun bila tidak dikerjakan dengan bijak dan seksama juga potensial membawa kerusakan bangsa ini di masa yang akan datang.*

Editor: Riandi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *