Anggota Komisi VI DPRD Kepri Hadiri Dialog Kebudayaan dan Identitas

Anggota Komisi VI DPRD Kepri, Uba Ingan Sigalingging, Sirajudin Nur, dan Hanafi Ekra hadiri Dialog terbuka. (Foto: Dok. HumasDPRDKepri)

TANJUNGPINANG, RADARSATU.COM – Anggota Komisi VI DPRD Kepri, Uba Ingan Sigalingging, Sirajudin Nur, dan Hanafi Ekra hadiri Dialog terbuka, dengan tema “Kebudayaan dan Identitas”, Kamis (15/6/2023) malam.

Dialog yang digelar oleh LSM Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak), di Bandoeng Resto, Batam Center, Batam itu turut menghadirkan Guru Besar Universitas Riau (Unri) yang juga seorang budayawan Melayu, Prof Dr Yusmar Yusuf.

Dalam dialog tersebut juga turut dihadiri Kadis Kebudayaan Kepri, Juramadi Esram sekaligus mewakili Gubernur Kepri, Seniman Kepri, Samson Rambah Pasir, serta ratusan peserta yang memadati lokasi acara.

Pieter P Pureklolong yang menjadi moderator berhasil membuat dialog menjadi sangat menarik. Di awal acara, Anggota Komisi IV DPRD Kepri Sirajudin Nur yang memberikan sambutan menyebut dialog seperti ini seharusnya sering dilakukan, jangan hanya acara seremonial semata.

“Saya sangat bersemangat sekali ke sini. Sejak awal saya sampaikan ke staf begitu lihat undangan saya minta atur jadwal agar bisa menghadiri dialog ini, karena dialog-dialog seperti ini akan menambah wawasan tentunya,” katanya.

Bagitu juga dengan Kepala Dinas Kebudayaan Kepri, Juramadi Esram. Dia pun mendorong dialog yang mengangkat tema-tema kebudayaan terus dihidupkan di tengah kecenderungan masyarakat modern meninggalkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Juramadi yang membuka acara juga menyampaikan maaf Gubernur Kepri, Ansar Ahmad yang tidak bisa menghadiri dialog tersebut.

Prof Dr Yusmar Yusuf menjelaskan secara rinci terkait budaya dan identitas, terutama menjelang Pemilu 2024 mendatang. Menurut Prof Yusmar, politik identitas suatu keniscayaan. Namun, politisasi identitas haram hukumnya. Sebab, tak satupun orang di Tanah Air, termasuk di Kepri, meminta dilahirkan sebagai orang Melayu, Jawa, Bugis, Minang, Tionghoa dan sebagainya.

Karenanya, mereka berhak berkembang dan mengembangkan kebudayaannya, termasuk di Kepri, negeri Melayu. Yusmar juga blak-blakan soal politik identitas. Kepri disebutnya, juga lahir berkat sentimen politik identitas. Yakni, identitas warga Jawa, Melayu, Batak, Tionghoa, dan lainnya di Kepulauan Riau.

Prof Yusmar juga menyebutkan, politik itu sebenarnya indah. Politik adalah sebuah ilmu bergaul dan merangkul dan dunia ini terbentuk dari politik. Namun, budayawan Melayu ini kembali mengingatkan, bahwa identitas tidak boleh dipolitisasi. Tapi politik identitas diperlukan.

“Politik identitas itu wajib, tanpa itu tidak ada Provinsi Kepri. Kepri ini lahir karena identitas. Kita orang pulau yang terlepas dari Sumatera, mari kita bangun dalam semangat kepulauan yang di dalamnya berhimpun seluruh masyarakat dari beragam latar belakang, bahasa, agama, nilai yang berbeda-beda. Dengan semangat archipelego kita memisahkan diri dari Riau. Itu politik identitas. Tapi tidak mempolitisasi kamar-kamar yang ada di rumah besar atau Provinsi Kepri,” ungkapnya.

Sementara, Ketua LSM Gebrak, Agung Agung Widjaja menyampaikan terima kasih pada semua tamu yang telah hadir. Dia pun berharap dialog memberikan pencerahan, membangun persepektif demokrasi yang sehat menjelang tahun politik 2024.

Apalagi jelang pemilu istilah politik identitas sangat familiar. Banyak yang menganggap praktik politik identitas dewasa ini sangat mengkhawatirkan dan sangat berbahaya karena dianggap dapat memecah belah dan merusak persatuan nasional. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *