Kasus PMH di Karimun, Saksi Ahli Nilai Ada Kejanggalan

Sidang perkara gugatan dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang ditujukan kepada Presiden, Kejagung, dan Polri oleh penggugat itu digelar di Pengadilan Negeri Tanjungbalai Karimun, Kamis (31/3/2022). (Foto: Riandi).

KARIMUN, RADARSATU.COM – Sidang kasus pembunuhan di Karimun 20 tahun silam yang menimpa Taslim alias Cikok kini masih bergulir di Pengadilan Negeri Karimun.

Sidang perkara gugatan dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang ditujukan kepada Presiden, Kejagung, dan Polri oleh penggugat itu digelar di Pengadilan Negeri Tanjungbalai Karimun, Kamis (31/3/2022).

Salah satu materi gugatan dalam perkara ini, yakni tidak dilaksanakannya putusan hakim No:30/PID.B/2003/PN.TPI.TBK tertanggal 4 Juni 2003 dan No:31/PID.B/2003/PN.TPI.TBK tertanggal 4 Juni 2003 terhadap penetapan dua tersangka, yakni AE dan AF atas kasus pembunuhan 20 tahun silam yang menimpa Taslim alias Cikok.

Perkara ini kemudian kembali digugat oleh anak korban, Robiyanto dan telah terdaftar di Pengadilan Negeri Tanjungbalai Karimun dengan Nomor perkara.44/Pdt.G/2021/PN.Tbk.

Dalam sidang kali ini, pihak penggugat menghadirkan saksi ahli, DR Yongki Fernando, SH. MH, untuk memberikan penjelasan dari sisi perspektif hukum dalam perkara tersebut.

Kuasa hukum penggugat, Jhon Asron Purba, mengatakan jika dari amatan saksi ahli dalam perkara ini dugaan PMH ini dengan sengaja dilakukan oleh para tergugat.

“Tadi juga disebutkan bahwa lamanya proses ini penetapan tahun 2003, kemudian difollow-up tahun 2020 adalah patut dicurigai dan tidak wajar,” kata Jhon.

Menurutnya, indikasi pelanggaran setelah adanya penetapan dua tersangka pada tahun 2003 dalam kasus pembunuhan 20 tahun lalu itu. Di mana kasus ini baru ditindaklanjuti dengan diterbitkannya SPDP pada tahun 2020, sementara hakim telah menetapkan kedua pelaku tersangka dalam kasus tersebut.

“SP3 juga tahun 2020. Rentang waktunya itu hanya beda satu hari. Artinya tadi keterangan ahli tadi itu memang sangat menguatkan pada gugatan kita, bahwa ketiga tergugat ini (Presiden, Kejagung, dan Polri) adalah melakukan perbuatan melawan hukum,” ujarnya.

Sementara saksi ahli, DR Yongki Fernando, SH. MH, menjelaskan melihat pada tahun putusan sebelumnya, lalu diterbitkannya SP3 kasus ini setelah 20 tahun, terdapat kejanggalan jika dilihat dalam perspektif hukum pidana.

“Bagaimana mungkin penetapan yang sudan hampir 20 tahun lamanya, baru adanya keputusan SP3 penghentian penyidikan itu. Apalagi kita melihat perspektif pendekatan hukum materi tentang penghentian penyidikan itu sendiri kan substansinya harus adanya atau tidak terpenuhinya dua alat bukti,” jelasnya.

Jika melihat dari sisi hukum pidana penetapan atas dua tersangka dalam kasus sebelumnya, seharusnya sudah dampak ditindaklanjuti dengan hanya mengumpulkan dua alat bukti.

“Sedangkan bahwa penetapan itu sebenarnya pintu masuk pada peristiwa pidana yang disangkakan lewat penetapan itu. Saya pikir tidak terlalu sulit dibandingkan mengawali proses penyidikan,” kata dia.

Ia menambahkan, alur kronologi dalam kasus ini terbilang cukup langka. Terutama terkait jangka waktu yang terbilang lama antara putusan hakim yang sudah harus dijalankan pada tahun 2003 silam. Lalu, diterbitkan SP3 pada tahun 2020 untuk menganulir kasus ini.

“Bahwa terhadap putusan terhadap tindak pidana yang diduga kan ini, bisa dianulir dengan namanya SP3. Ini hal yang langka. Jadi ini dalam pandangan kami, dalam perspektif materil tidak wajar, tidak normal dan patut dikatakan melawan hukum,” tambahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *