Cerita Mendagri Tentang Dua Gubernur Kena Jerat KPK

Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Foto: Kemendagri
Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Foto: Kemendagri

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, kepolisian dan kejaksaan, menggulirkan program pembekalan anti korupsi dan deklarasi Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Program ini, menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo akan digelar di 17 provinsi yang akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 2018 ini.

Program pembekalan ditujukan kepada seluruh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bertarung di Pilkada,  baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten atau kota. Program ini telah dilaksanakan di beberapa provinsi, antara lain telah digelar di Lampung, Jawa Timur, Jawa Barat, terakhir kemarin digelar di Sumatera Utara. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terhitung rajin menghadiri acara tersebut.

Dalam arahannya, setiap acara pembekalan digelar, orang nomor satu di Kemendagri ini tak pernah lupa mengingatkan seluruh calon kepala daerah agar memahami area rawan korupsi. Kata Tjahjo, salah satu biang korupsi adalah perencanaan anggaran. Banyak kepala daerah terpaksa berurusan dengan KPK, bahkan diantaranya kena operasi tangkap tangan karena kasus kongkalikong perencanaan anggaran.

Di acara pembekalan, Tjahjo juga tak pernah lupa mengulang kisah tentang dua orang gubernur. Di acara pembekalan anti korupsi di Lampung, Bandung, Surabaya dan Medan, kisah itu tak pernah absen dituturkan.

Kata Tjahjo dalam kisahnya, ada seorang gubernur di Indonesia, pagi harinya ia menandatangani pakta integritas anti korupsi, tapi besoknya gubernur tersebut justru kena tangkap KPK yang melakukan OTT di provinsi tersebut. Sayang, Tjahjo tak mengungkapkan siapa gubernur yang dikisahkannya itu.

“Padahal dia menandatangani pakta integritas di depan Ketua KPK. Eh, besoknya kena OTT. Artinya dia teken itu tidak dengan hati nurani,” kata Tjahjo.

Kisah gubernur satunya lagi, juga tak jauh berbeda, terpaksa harus berurusan dengan KPK. Padahal, kata Tjahjo, si gubernur, pernah jadi bupati. Masih muda, dan ayahnya pernah jadi gubernur. Tapi, karena berkongkalikong dengan DPRD, kini gubernur muda itu terpaksa harus menyandang status tersangka. Bahkan terpaksa masuk tahanan.

“Dia, sebagai  kepala daerah tak mampu mengambil kebijakan politik  pemerintahan yang sesuai aturan. Dia  disetir anggota DPRD-nya, akhirnya kena oleh KPK,” kata Tjahjo.

Sepertinya, kisah gubernur kedua yang diceritakan Tjahjo merujuk pada Zumi Zola, gubernur non aktif Jambi. Zumi Zola seperti diketahui, pernah jadi bupati. Dan, ayah Zumi, Zulkifli Nurdin, adalah mantan Gubernur Jambi dua periode.

Tjahjo berharap, kisah yang diceritakannya jadi pelajaran berharga bagi semua calon kepala daerah. Karena kelak kalau terpilih, pasti akan dihadapkan pada godaan yang sama. Karena itu hati-hati. Jika ingin aman, jangan bermain api. Taat saja pada aturan. Tak usah neko-neko.

“Saya selalu bilang mudah-mudahan ini yang terakhir. Tapi terus saja ada yang kena. Jadi kapan terakhirnya. Ini kan sudah diberi pembekalan. Sudah dikasih tahu apa saja area rawan korupsi. Kalau kemudian kena lagi, ya jangan salahkan kami, jangan salahkan KPK,” katanya.

Sementara itu juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan program pembekalan anti  korupsi itu sendiri hasil kolaborasi KPK, dengan Kemendagri,  Kejaksaaan Agung Kepolisian Republik Indonesia, dan KPU. Tujuannya mewujudkan Pilkada berintegritas. Kata Febri, program pembekalan adalah sebua  upaya sejak dini untuk mendorong terbangunnya perilaku antikorupsi. Selain sebagai ikhtiar  konstruktif pencegahan korupsi, terutama bagi pasangan calon kepala daerah. ” Juga untuk memberikan pemahaman persoalan-persoalan pokok penyelenggaraan pemerintahan di daerah,”katanya.

Febri menambahkan pembekalan ini dipandang perlu dilakukan mengingat sesuai dengan data, tercatat ada 18 gubernur dan 71 walikota atau bupati dan wakil terjerat kasus korupsi yang ditangani KPK.  Berdasarkan kasus tindak pidana korupsi tersebut, KPK telah memetakan setidaknya 9 titik rawan korupsi di pemerintah daerah. Titik rawan korupsi yaitu perencanaan APBD, pengganggaran APBD, pelaksanaan APBD, perizinan, pembahasan dan pengesahan regulasi, pengelolaan pendapatan daerah, rekrutmen, promosi, mutasi, dan rotasi kepegawaian, pelayanan publik, dan proses penegakan hukum.

“KPK memandang perlu menggelar berbagai upaya pencegahan korupsi, salah satunya dengan kegiatan pembekalan para pasangan calon ini. Harapannya, para pasanga  calon dapat memahami persoalan-persoalan pokok dalam penyelenggaran pemerintah daerah yang rawan korupsi,”katanya.

Tidak hanya itu, komisi anti rasuah  juga melakukan pendampingan untuk pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota melalui kegiatan  koordinasi dan supervisi pencegahan. Ini semata untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang baik dan membangun sistem, agar sedini mungkin korupsi tidak terjadi. Pndampingan meliputi perencanaan APBD yang integrasi antara e-planning dan  e-budgeting, pengadaan barang dan jasa yang mandiri, perizinan, yakni PTSP yang mampu memberikan layanan yang memudahkan bagi masyarakat namun tetap akurat dan mempunyai fungsi monitoring yang mumpuni. Pendampingan juga terkait dengan penguatan APIP.

“Dimana terus dilakukan peningkatan kapabilitas bagi APIP yang bekerjasama dengan BPKP dan LKPP, e-SAMSAT dan peningkatan kesejahteraan ASN,”ujarnya.

Program pembekalan anti korupsi itu sendiri dilaksanakan dibeberapa provinsi, terutama yang akan menggelar Pilkada, antara lain digelar di Aceh, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,  Maluku dan Sumatera Utara.

Sumber: Humas Kemendagri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *