BATAM, Radarsatu.com – Anggota Badan Anggaran DPRD Kota Batam, Muhammad Mustofa, menyoroti tidak optimalnya realisasi pendapatan dari sektor parkir tepi jalan di Kota Batam. Dari total 985 titik parkir yang ada, realisasi pendapatan hingga pertengahan tahun 2024 baru mencapai sekitar 40 persen dari target.
“Kami melihat ada kebocoran pendapatan. Target per tahun seharusnya bisa mencapai Rp70 miliar, tapi per hari ini baru mampu Rp11 miliar. Artinya, ada kebocoran pendapatan,” ujar Mustofa, Senin, 30 Juni 2025.
Mustofa mengungkapkan, kebocoran ini diduga terjadi karena sistem pelaporan di lapangan yang tidak langsung menuju Dinas Perhubungan (Dishub). Ia menyebut adanya pihak ketiga yang bertindak seperti “mandor” di lapangan, yang membuat alur pelaporan dan pendapatan tidak transparan.
“Seharusnya, titik-titik parkir itu langsung dikordinir oleh Dishub. Tapi kenyataannya, ada layer lain di tengah. Kami menduga kebocoran terjadi di sini,” ungkapnya.
Dalam upaya membenahi permasalahan ini, DPRD Kota Batam mengusulkan moratorium pengelolaan parkir selama dua bulan. Langkah tersebut diusulkan agar sistem lama dihentikan sepenuhnya dan diganti dengan sistem baru yang lebih transparan dan efisien.
“Kami sudah diskusi dengan Ditjen Bina Keuangan dan Hukum Kemendagri serta Pemerintah Provinsi. Kesimpulannya, perlu perubahan total. Tidak cukup hanya mengganti kepala dinas. Harus ada dukungan dari kepala daerah untuk melakukan perombakan sistem,” tegas Mustofa.
Menurutnya, moratorium ini juga sejalan dengan rencana perubahan status Dishub Batam menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Dengan status ini, Dishub memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan dan bisa bekerja sama secara resmi dengan pihak ketiga.
Dengan langkah-langkah ini, DPRD berharap perbaikan sistem pengelolaan parkir dan retribusi lainnya bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
“Kalau nanti BLUD diterapkan dan dikelola dengan baik, Dishub bisa gunakan pendapatan langsung untuk pengembangan layanan. Misalnya, kalau pihak ketiga diberi pengelolaan 900 titik parkir, harus jelas kontraknya. Kalau berani setor Rp30 miliar per tahun, ya itu harus masuk ke kas daerah. Jangan lagi ada ‘raja-raja kecil’ yang mengelola secara tidak resmi,” tambahnya.(Adv)