Indeks

Sengkarut Pilkada Berlanjut Ke MK

Oleh : Buana F Februari (Penulis adalah Pegiat Pemilu - Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Kampus Unggul Universitas Borobudur Jakarta)

“ORANG-orang yang memberikan vote (suara) tidak menentukan hasil dari pemilu. Namun orang-orang yg menghitung vote itulah yg menentukan hasil dari pemilu” Joseph Stalin, pemimpin Uni Soviet.

Terlepas dari benar tidaknya ungkapan Stalin tersebut yang di endorse Karni Ilyas pada acara ILC, sesungguhnya bila kita kaji lebih dalam ungkapan tersebut banyak benarnya, terutama bila melihat dari kondisi para Penyelenggara Pemilu di era menuju Indonesia Emas saat ini sangat mengkhawatirkan. Hal ini bukan tanpa alasan karena proses perekrutan mereka diwarnai bendera masing-masing, ada yang berbalut bendera Parpol, bendera Ormas/OKP bahkan bendera Oligarki.

Pada tulisan ini akan coba dikupas sengkarut yang terjadi sepanjang tahapan Pilkada dan berlanjut pada gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa sengkarut itu adalah tidak keruan/tidak menentu, suatu fase keadaan tidak menentu terjadi pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak 27 November 2024 yang lalu, beberapa catatan terkait kondisi tersebut penulis dapatkan dari paparan Abhan, SH., MH (Ketua Bawaslu RI, 2017-2022) saat mengisi Professional Training Program PERADI-JTC yang penulis ikuti bersama rekan-rekan advokat pendamping Calon Kepala Daerah.

Gambaran umum Pilkada serentak 2024, merupakan Pilkada serentak pertama kali dalam satu tahun yang sama dengan Pemilu, beberapa Kepala Daerah di jabat oleh Penjabat (28 Pj Gub, 189 Pj Bup, 56 Pj Wali Kota), masih adanya residu Pemilu 2024, UU Pilkada/Pemilihan yang tidak berubah, justru terdapat Perbedaan aturan UU Pemilihan dengan UU Pemilu, dan diperparah dengan tahapan padat beririsan dengan tahapan Pemilu.

Pasal 22e UUD NRI 1945 sedemokian rupa mengatur penyelenggaraan Pemilu dengan sejumlah atribusi kewenangan pada suatu komisi pemilihan umum. Adapun ketentuan mengenai Pilkada digelar serentak di 2024 diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan November.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pada awalnya menjadi dasar atributif kewenangan bagi sederet lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Namun seiring dinamika konstitusi aturan kepemiluan digabungkan dalam satu undang-undang yakni UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum. KPU di atribusi kan sebagai lembaga yang melaksanakan tahapan-tahapan ketatanegaraan di bidang kepemiluan. Di samping itu pula, pelembagaan yang menangani penyelesaian sengketa pemilu, dalam hal ini sengketa proses berada di tangan Bawaslu, lalu Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) juga diatribusikan untuk menyelesaikan sengketa administrasi, di luar itu ada Mahkamah Konstitusi yang menjadi pelabuhan hukum terakhir bagi penyelesaian sengketa hasil pemilu maupun Pilkada.

Dr. Fahri Bachmid, SH.,MH sebagai salah satu Advokat yang sudah berpengalaman menangani perkara sengketa hasil di MK menyebut seringkali semua persoalan Pemilu maupun Pilkada di borongkan penyelesaiannya pada Mahkamah Konstitusi, padahal telah tersedia kanal-kanal penyelesaian sengketa sebelum masuk ke MK.

Kerangka hukum Pilkada secara tegas telah memberi limitasi waktu bagi penyelesaian setiap persoalan yang mungkin terjadi pada masa tahapan pilkada, Gakkumdu sebagai perwujudan penegakkan hukum tindak pidana pemilu yang terintegrasi antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan diberi waktu 14 hari dalam menyelesaikan setiap laporan dan atau temuan tindak pidana pemilu.

PT TUN diberi waktu 20 hari sedang MK sendiri mendapat jatah waktu 45 hari. Jadi bisa kita bayangkan bila semua sengkarut Pilkada di tuangkan ke MK, pasti tidak akan mampu memberikan kepuasan dan rasa keadilan bagi para pihak, baik Pemohon, Termohon maupun pihak terkait.

Namun bukan berarti MK hanya mampu menyelesaikan sengketa hasil yang bersifat akumulatif atau angka-angka saja sehingga ada sebutan MK menjadi Mahkamah Kalkulator bahkan menjadi Mahkamah Keluarga saat putusan MK yang membolehkan Gibran maju sebagai Cawapres.

Kembali ke persoalan sengketa pilkada, mungkin kita sering mendengar istilah TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) dimana sejarahnya TSM itu muncul pertama kali saat Cagub Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengajukan gugatan tahun 2008 lalu. Terminologi TSM sebenarnya tidak termaktub dalam hukum positif kita namun oleh para pembuat Undang-undang dirapikan dan dijadikan domain bagi Bawaslu.

Sayangnya terkadang tidak semua persoalan TSM mampu diselesaikan oleh Bawaslu, ada pula terjadi KPU yang mengabaikan rekomendasi Bawaslu sehingga persoalan ini baru menyeruak di saat sidang MK. Ada banyak faktor penyebab tidak sepenuhnya Bawaslu mampu menyelesaikan setiap laporan maupun temuan yang mereka dapatkan.

Postur Sumber Daya Manusia di Bawaslu sedikit timpang dibanding KPU secara jumlah personil sampai beda jumlah honor ikut mempengaruhi kinerja mereka dalam melakukan pengawasan, maka tak heran lebih banyak agenda Bawaslu itu menghadiri kegiatan memenuhi undangan setiap tingkatan dari Bawaslu RI sampai ke Panwaslu Kecamatan demi menyerap anggaran.

Banyak kegiatan yang diinisiasi oleh Bawaslu mengambil ranah tugas dan fungsi KPU, komunikasi buruk dan mis koordinasi menjadi penyebab seringnya rekomendasi Bawaslu diabaikan KPU, sehingga ide untuk kembali menjadikan Bawaslu hanya lembaga temporary atau Adhoc sangat tepat demi efisiensi dan efektivitas kelembagaan.

Balik lagi mengenai gugatan ke MK, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2024 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sudah sangat jelas mengatur secara teknis pedoman dan cara mengajukan gugatan ke MK.

Maka sebelum memutuskan untuk mengajukan gugatan sebaiknya pihak Pemohon menyiapkan benar kelengkapan administrasi pemohon, terkait objek sengketa yang akan dimohonkan yakni Keputusan KPU juga perlu diperiksa secara matang dari aspek selisih persentase jumlah suara, meskipun memungkinkan tetap berlanjut meski selisih suara melebihi ambang batas peraturan perundang-undangan.Jawaban dari pihak terkait dalam hal ini paslon peraih suara terbanyak dari objek gugatan juga perlu disiapkan counter attack atau serangan baliknya dan keterangan dari Bawaslu juga ikut menjadi penentu pertimbangan mahkamah mengambil putusan.

Oleh karenanya sangat beruntung bila tim hukum yang mengajukan gugatan adalah tim yang dari awal ikut mendampingi Paslon dalam masa tahapan. Sebab bila di setiap kejadian di masa tahapan dilakukan advokasi atau pelaporan ke Bawaslu maka tanda terima laporan tersebut dapat menjadi bukti di persidangan, apalagi bila Bawaslu ternyata tidak menindaklanjuti laporan atau temuan tersebut, MK sangat tidak mentolerir hal-hal sedemikian dan itu menjadi alasan MK mengambil alih kewenangan memutuskan perkara laporan/temuan yang terbukti secara TSM namun tidak ditindaklanjuti oleh Bawaslu.

MK bisa saja mendiskualifikasi Paslon dan atau memerintahkan dilakukannya Pemungutan Suara Ulang di wilayah yang terbukti terjadi kelalaian para penyelenggara pilkada. Kejahatan politik ulang dan seabrek persoalan netralitas ASN, TNI/Polri juga patut jadi atensi mahkamah dalam mempertimbangkan setiap gugatan pemohon, muncul istilah Partai Coklat (Parcok) dengan tudingan kecurangan kelompok penguasa menjadi asupan gizi tambahan bagi kita para Advokat pendamping Paslon yang merasa dizholimi, tergantung pada integritas kita sebagai ibsan hukum untuk dapat memberikan pendampingan dan pembelaan sepanjang ada hak- konstitusional paspon peserta pilkada yang ternodai oleh praktek kecurangan.

Usulan Presiden Prabowo agar Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan ke DPRD bukan tanpa sebab, dengan deretan persoalan dan hiruk pikuk pilkada yang berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa ditambah pemborosan anggaran hanya untuk slogan demokrasi maka pemikiran Prabowo layak diberikan apresiasi dan memang pantas beliau menjadi paradoks di negeri ini.

Exit mobile version