Indeks

Tabur Bansos & Sembako Menuju Penetapan Pasangan Calon Pemilihan Kepala Daerah

Oleh: M.Hafidz Diwa Prayoga, Ketua akademi pemilu dan demokrasi Tanjungpinang - Mantan Komisioner KPU Tanjungpinang.

MENJELANG Pilkada Serentak 2024 hampir disetiap daerah terjadi sebuah fenomena yang menarik perhatian publik, yaitu pemberian Bansos dan paket sembako yang dibalut dengan gambar wajah kepala daerah maupun wajah salah satu bakal pasangan calon.

Bantuan sosial dan Paket sembako tersebut yang terdiri dari minyak goreng, susu kental manis, dan gula pasir, yang telah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan para politikus lokal. Tindakan ini dianggap oleh beberapa pihak sebagai upaya yang dapat merusak integritas proses Pilkada.

Dalam konteks hukum pemilu di Indonesia, khususnya terkait dengan pemilihan kepala daerah, regulasi yang mengatur perilaku para calon kepala daerah memiliki peran penting dalam memastikan integritas dan keadilan proses pemilihan.

Salah satu regulasi yang kritis adalah Pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang larangan bagi calon dan tim kampanye untuk menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya guna mempengaruhi pemilih atau penyelenggara pemilihan.

Namun, pertanyaan muncul mengenai apakah pasal ini dapat diterapkan kepada bakal pasangan calon yang belum ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai pasangan calon kepala daerah? Opini hukum ini akan menganalisis relevansi penerapan Pasal 73 ayat

(1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan dalam konteks tersebut dengan merujuk pada teori hukum dan interpretasi peraturan perundang-undangan. Opini hukum ini bertujuan untuk menganalisis peristiwa tersebut dari aspek hukum formal, sosiologis, dan filosofis, dengan merujuk pada ketentuan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Analisis Hukum Formal

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 memberikan kerangka hukum yang jelas dalam penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk larangan terhadap tindakan- tindakan yang dapat merusak keadilan dan integritas proses pemilihan.

Pasal 73 UU No 10 Tahun 2016 secara tegas melarang pasangan calon atau tim kampanye mereka untuk menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya guna mempengaruhi pemilih atau penyelenggara pemilihan. Secara spesifik, pasal ini menyatakan:

– Pasal 73 ayat (1): “Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.”

– Pasal 73 ayat (2): “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”

Ketentuan ini berlaku langsung terhadap insiden distribusi sembako tersebut. Apabila terbukti bahwa tujuan dari pembagian sembako adalah untuk mempengaruhi pilihan pemilih yang dilakukan secara TSM, maka hal ini merupakan pelanggaran hukum pemilu yang serius.

Bawaslu memiliki wewenang untuk menyelidiki kejadian ini dan, jika terbukti melanggar, merekomendasikan sanksi hingga pembatalan calon dari daftar calon tetap (DCT) pemilihan kepala daerah.

Pasal 71 UU No. 10/2016 juga mendukung ketentuan ini dengan membatasi tindakan pejabat negara yang dapat menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu dalam proses pemilihan. Ini relevan jika distribusi sembako tersebut melibatkan sumber daya atau pengaruh publik untuk keuntungan politik tertentu.

Analisis Relevansi Penerapan Pasal 73 Ayat 1 dan Ayat 2 UU No. 10 Tahun 2016 terhadap Bakal Pasangan Calon yang Belum Ditetapkan oleh KPU :

1). Status Hukum Bakal Pasangan Calon

Bakal pasangan calon adalah individu atau pasangan yang telah mendaftar dan mengikuti proses seleksi untuk menjadi calon kepala daerah, namun belum ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai peserta pemilu. Dalam hal ini, status hukum mereka masih sebagai “bakal calon,” yang berarti mereka belum memiliki kapasitas resmi sebagai “calon” sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan.

2). Analisis Hukum dan Relevansi Pasal 73

Pasal 73 ayat 1 dan 2 UU No. 10 Tahun 2016 berbunyi sbb:

a. Pasal 73 ayat (1): “Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.”

b. Pasal 73 ayat (2): “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”

Dalam ketentuan ini, secara eksplisit yang disebutkan sebagai subjek hukum adalah “Calon” dan “tim kampanye”. Menurut teori interpretasi tekstual dalam hukum, suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan harus dibaca sesuai dengan bunyi kata-katanya.

Dengan demikian, ketentuan ini secara langsung ditujukan kepada individu atau entitas yang telah resmi berstatus sebagai calon dalam pemilihan, yaitu setelah penetapan oleh KPU.

Namun, teori interpretasi teleologis atau penafsiran tujuan hukum memberikan pendekatan yang berbeda. Teori ini menekankan pentingnya memahami tujuan dari peraturan tersebut.

Tujuan dari Pasal 73 jelas untuk mencegah praktik *”money politics”* yang dapat mempengaruhi integritas pemilu, baik oleh calon resmi maupun pihak lain yang berpotensi menjadi peserta pemilu.

Dalam konteks ini, semangat dari Pasal 73 dapat di argumentasikan mencakup tindakan bakal calon, karena mereka memiliki potensi untuk merusak proses pemilihan bahkan sebelum status resmi sebagai calon diberikan oleh KPU.

3). Penerapan Pasal 73 terhadap Bakal Pasangan Calon

Meskipun Pasal 73 secara tekstual merujuk pada “Calon”, argumentasi yang lebih luas dapat diajukan berdasarkan prinsip _prevention of harm_ dalam hukum pemilu, yang berupaya mencegah tindakan-tindakan yang merusak integritas pemilihan, terlepas dari status formal pelakunya.

Dalam hal ini, tindakan bakal pasangan calon yang belum ditetapkan namun melakukan perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 73, seperti pembagian sembako dengan maksud untuk mempengaruhi pemilih, dapat dianggap sebagai bentuk awal dari “kampanye terselubung” yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Hal ini jelas bertentangan semangat dan tujuan utama dari Pasal 73.

Namun, perlu dicatat bahwa memang “idealnya” penerapan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat 2 yaitu pembatalan sebagai pasangan calon secara teknis baru bisa diterapkan setelah bakal calon tersebut ditetapkan sebagai calon resmi oleh KPU.

Namun seharusnya undang udang mesti memberikan ruang penafsiran bahwa Bawaslu dapat merekomendasikan penolakan bakal pasangan calon dari daftar bakal pasangan calon jika terbukti bahwa mereka telah melakukan pelanggaran serius yang diatur oleh Pasal 73 selama proses pendaftaran.

Perspektif Sosiologis

Dari sudut pandang sosiologis, distribusi sembako pada masa pra-pemilihan, khususnya dengan mencantumkan logo pasangan calon, dapat dianggap sebagai bentuk “politik uang.”

Praktik semacam ini merusak prinsip-prinsip pemilihan yang demokratis karena memengaruhi preferensi pemilih melalui insentif material, bukan melalui interaksi politik yang substansial atau debat kebijakan.

Penyebaran paket sembako yang meluas ke berbagai kecamatan, seperti yang dilaporkan, berpotensi mempengaruhi perilaku pemilih, khususnya kelompok masyarakat yang secara ekonomi rentan. Mereka mungkin merasa berhutang budi atau terdorong untuk memilih pasangan calon yang memberikan bantuan tersebut.

Praktik semacam ini tidak hanya merusak integritas proses pemilihan, tetapi juga mendistorsi kontrak sosial antara pemilih dan pejabat terpilih, menggeser fokus dari manfaat jangka panjang kebijakan menjadi keuntungan material jangka pendek.

Pertimbangan Filosofis dan Etika

Secara filosofis, pemilihan umum adalah mekanisme bagi rakyat untuk menggunakan hak pilihnya untuk memilih pemimpin yang dapat mewakili kepentingan masyarakat. Integritas proses ini berdiri pada konsep keadilan dan gagasan bahwa semua calon harus memiliki kesempatan yang setara untuk menyampaikan visi & misi.

Distribusi sembako dan bantuan sosial yang dikaitkan dengan calon tertentu menimbulkan kekhawatiran mengenai penyalahgunaan kekuatan kebijakan dan/ atau ekonomi untuk mendapatkan keuntungan politik.

Praktik ini dapat mendegradasi kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan serta mengurangi legitimasi pejabat yang terpilih, karena dukungan yang diperoleh diragukan apakah dukungan tersebut diraih berdasarkan pilihan yang murni atau akibat pengaruh material. Prinsip etika keadilan, yang menuntut persaingan yang adil, jelas terancam dalam situasi semacam ini.

Dalam konteks hukum pemilu, Pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 secara teknis berlaku bagi mereka yang sudah berstatus sebagai “calon” setelah ditetapkan oleh KPU. Namun, dengan menggunakan teori interpretasi tujuan hukum, dapat di argumentasikan bahwa prinsip yang terkandung dalam Pasal 73 seharusnya juga mencakup bakal pasangan calon, terutama dalam rangka menjaga integritas proses pemilihan dari tahap awal.

Secara normatif, Bawaslu memiliki kewenangan untuk menindak bakal pasangan calon yang melakukan pelanggaran tersebut, dengan menunda atau menolak penetapan mereka sebagai calon resmi jika ditemukan bukti yang cukup.

Dengan demikian, penerapan Pasal 73 dalam kasus bakal calon yang melakukan pelanggaran dapat dikatakan relevan, terutama dalam konteks pencegahan dan perlindungan terhadap proses pemilihan yang adil dan bebas dari pengaruh yang tidak semestinya.

Rekomendasi dari Sisi Pencegahan

a. Sosialisasi dan Edukasi Awal bagi Bakal Pasangan Calon:

Bawaslu dan KPU perlu melakukan sosialisasi intensif kepada bakal pasangan calon mengenai aturan dan batasan dalam kegiatan yang dapat dilakukan selama masa pra-penetapan. Penekanan khusus harus diberikan pada larangan “money politics” dan tindakan yang dapat dianggap sebagai kampanye terselubung.

Sosialisasi ini harus mencakup pemahaman yang komprehensif tentang ketentuan Pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 serta konsekuensi hukum bagi pelanggaran aturan, termasuk penolakan pencalonan dan sanksi administratif lainnya.

b. Penerapan Pengawasan Proaktif oleh Bawaslu:

Bawaslu Kabupaten/Kota perlu mengembangkan mekanisme pengawasan/pencegahan yang proaktif dan terstruktur terhadap aktivitas bakal pasangan calon sejak tahap pendaftaran. Ini bisa mencakup patroli pengawasan di lapangan, pemantauan media sosial, dan kerjasama dengan masyarakat untuk melaporkan indikasi adanya kegiatan yang melanggar khususnya yang terfokus pada pengawasan praktek-praktek “money politics” sebelum masa kampanye resmi dapat dimulai.

c. Membuat Kesepakatan Kode Etik bersama bakal Pasangan Calon:

KPU dan Bawaslu dapat memperkenalkan dan mensosialisasikan Kode Etik bagi Bakal Pasangan Calon, yang dalam hal ini menekankan komitmen untuk mematuhi aturan hukum pemilu serta menjaga integritas proses pemilihan. Kode etik ini bisa menjadi panduan moral bagi bakal calon dalam beraktivitas selama masa pra- penetapan.

Rekomendasi dari Sisi Penegakan Hukum

1. Peningkatan Kapasitas Bawaslu dalam Investigasi Awal:

Bawaslu perlu memperkuat mental dan kemampuan investigasi internalnya untuk menangani laporan atau indikasi pelanggaran oleh bakal pasangan calon. Ini mencakup pelatihan khusus untuk tim investigasi dalam mengumpulkan bukti dan membuat laporan yang komprehensif dan dapat diandalkan serta peningkatan kerjasama dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Polri dan Kejaksaan untuk memperkuat proses penyelidikan dan penindakan.

2. Penerapan Sanksi yang Tegas dan Proporsional bagi pelaku politik uang selama masa pendaftaran hingga penetapn calon :

Idealnya dalam hal terbukti adanya pelanggaran oleh bakal pasangan calon yang belum ditetapkan, Bawaslu dapat merekomendasikan kepada KPU untuk tidak meloloskan pasangan tersebut sebagai calon resmi. Hal ini harus dilakukan dengan dasar hukum yang kuat dan didukung oleh bukti yang cukup.

Idealnya Penerapan sanksi administratif berupa pencoretan dari daftar bakal calon juga harus disertai dengan pengumuman publik untuk menjaga transparansi dan memberikan efek jera.

Kombinasi strategi pencegahan dan penegakan hukum yang efektif sangat diperlukan untuk menjaga integritas dan keadilan dalam proses pemilihan kepala daerah.

Pencegahan melalui edukasi, pengawasan, dan kode etik bertujuan untuk meminimalisir pelanggaran sejak dini, sedangkan penegakan hukum yang tegas memberikan sinyal bahwa pelanggaran hukum tidak akan ditoleransi.

Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan lembaga terkait lainnya harus bekerja sama secara sinergis untuk memastikan bahwa Pilkada serentak tahun 2024 berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hukum yang berlaku.

Exit mobile version