Masjid dan Kampus Medan Perjuangan HMI

Ketum BPL HMI Cabang Tanjungpinang-Bintan, Ahmad Riyadi.

TANJUNGPINANG, RADARSATU.COM – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi hasil inisiasi Lafran Pane, seorang yang memiliki keresahan di kepalanya. Seorang yang memiliki badai besar di dalam pikirannya, seseorang yang memiliki sebuah pondasi berpikir pada masa itu.

Lahir pada 5 Februari 1922 di Kampung Pangurabaan, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Lafran lahir dari keluarga penulis dan aktivis. Ayahnya bernama Sutan Pangurabaan Pane, seorang jurnalis dan sastrawan, pendiri dan pemimpin Surat Kabar Sipirok-Pardomuan.

Selain itu, Sutan Pangurabaan juga dikenal sebagai seorang guru (petani peradaban), dan pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Sementara dua kakak Lafran, Sanusi Pane dan Armijn Pane adalah sastrawan terkenal.

Keislaman dan keindonesiaan adalah dua pilar keresahan yang melatar belakangi berdirinya HMI. Jalan terjal seorang lafran pane tempuh untuk mendirikan HMI. Fitnah dan cacian ia dapat dari rekan mahasiswa lainnya.

Dalam sebuah perkataan ahli hikmah dalam mencapai sebuah proses kebenaran kau harus melewati fase di tentang, ditertawakan dan diterima tanpa alasan apapun.

Lafran Pane mengalami fase di tentang oleh mahasiswa Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY). Fase di tertawakan oleh mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI), dengan sebuah ejekan “Pakistan”.

Hal itu lantaran seorang yang ingin mendirikan negara islam, pada saat itu memang Pakistan sedang berjuang memerdekakan diri dari India.

Dalam rintangan tersebut tidak membuat surut cita-cita mahasiswa anak desa itu ingin memajukan bangsa yang baru saja merdeka dari belenggu penjajah dan sedang ingin membangun SDM (Sumber Daya Manusia).

Fase terakhir dari sebuah perjuangan Lafran Pane adalah diterima tanpa ada alasan apapun.Semua itu bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi pada 5 Februari 1947 di Gedung Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sekarang dikenal sebagai UII di Jl. Pangeran Senopati 30, Yogyakarta.

Pada saat itu, Lafran Pane, mahasiswa STI, meminta izin u dosen pengajar kuliah Tafsir, Husein Yahya, untuk menggunakan jam pelajarannya sebagai rapat mahasiswa. Pada rapat itu diputuskan lahirnya HMI. Tanpa ada undangan, tanpa ada spanduk lazimnya acara mahasiswa zaman sekarang, tanpa kemewahan apapun dengan kue yang bergelimang, justru kesederhanaan mengiringi berdirinya HMI.

Tapi ada sebuah kisah menarik diajarkan oleh Lafran Pane dibalik pendirian HMI. Diawal masuk kuliah STI Lafran Pane cukup heran kenapa ada jam kuliah yang berbenturan dengan jam waktu sholat padahal dia kuliah di kampus yang memiliki label islam.

Hal tabu juga dia lihat saat mahasiswa Islam seolah enggan atau memperlihatkan Islamnya di khalayak ramai misalnya izin sholat saat mata kuliah berlangsung. Itu sangat tabu.

Selain itu juga Islam masih dijadikan sebagai sesuatu yang hanya berorientasi pada akhirat. Islam dijadikan hal yang hanya bersifat ritual semata oleh mahasiswa dan masyarakat indonesia. Seolah-olah, Islam ini terpisah dari kehidupan duniawi dan hanya mengurusi kehidupan ukrowi.

Dari beberapa latar belakang tersebut Lafran Pane mulai merasakan keresahan dalam kepalanya, muncul sebuah pertanyaan apakah ini Islam? Apakah seperti ini islam yang dibawa oleh Muhammad SAW. Dia pun berdiskusi dengan kawan-kawan yang terutama dekat dengannya mengenai keresahan pikirannya.

Ikhtiar Lafran Pane dimulai sejak September 1946- 05 Februari 1947 yang dikenal dalam sejara HMI sebagai masa konsolidasi spritual. Lafran Pane memulai niatannya dengan melakukan salat 40 hari berturut-turut secara berjamaah untuk memantapkan niatnya.

Salat berjamaah adalah hal yang tabu dilakukan oleh mahasiswa STI pada saat itu karna banyak jam kuliah yang berbenturan dengan waktu salat wajib.

Ada dua fokus pencarian rekrutmen anggota yang dilakukan oleh Lafran Pane yaitu seorang mahasiswa yang berada di kampus dan mahasiswa tersebut salat berjamaah di mesjid mungkin dalam pikirannya orang yang diajak dalam niatan yang serius ini haruslah memang manusia-manusia pilihan.

Oleh karna itu dua pilar awal pondasi HMI adalah mahasiswa yang salat manusia yang memenuhi kewajibannya sebagai mahasiswa dan sebagai hamba. Dengan itu ada dua komponen medan juang HMI yaitu Kampus dan Masjid.

Kampus adalah daerah lingkungan bangunan utama perguruan tinggi (universitas, akademi) tempat semua kegiatan belajar-mengajar dan administrasi berlangsung. Secara harafiah, kampus merupakan tempat untuk mengembangkan pendidikan.

Pendidikan terbagi dalam 2 (dua) bidang, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan non akademik. Keduanya memiliki persamaan unsur yaitu merupakan sebuah kegiatan belajar-mengajar.

Pendidikan akademik merupakan suatu kegiatan belajar-mengajar yang mengacu kepada hal ilmiah, sedangkan pendidikan non akademik merupakan suatu kegiatan belajar-mengajar yang mengacu kepada pengembangan potensi dan bakat di luar hal ilmiah.

Akhir-akhir ini seolah HMI kehilangan medan perjuangan dan arah tujuannya. HMI meninggalkan basisnya di kampus, idealnya organisasi mahasiswa setiap kegiatannya haruslah terpusat dilingkungan kampus agar eksistensinya tidak hilang.

Namun realita yang kita lihat sekarang kegiatan-kegiatan HMI banyak dilakukan di luar kampus. Seolah-olah dari tingkat komisariat sampai PB HMI berlomba-lomba melaksanakan kegiatan di hotel atau gedung pemerintah hanya dengan alasan gengsi, dan untuk menampilkan kemewahan dari organisasi tersebut.

HMI meninggalkan rumahnya yaitu kampus tempat perta yang harusnya mahasiswa mengenal HMI bukan di tempat yang lain. Bahkan penerimaan latihan kader sebagai gerbang awal masuk HMI dibuat di luar kampus tak jarang di tempat yang mewah demi menunjukkan eksistensi seorang ketua umum.

Padahal seharusnya organisasi mahasiswa jangan dibuat terlalu melangit agar tidak lupa membumi dengan segala persoalan rakyat.

Dengan hal itulah maka tidak heran di zaman sekarang HMI hanya mampu melakukan perekrutan anggota hanya 5% dari jumlah mahasiswa baru setiap tahunnya, jauh dari hal perekrutan anggota dimasa lalu.bHMI meninggalkan basisnya yaitu kampus (Universitas).

Hal yang kedua anggota HMI meninggalkan masjid sebagai pilar utama islam. Dimasa lalu lafran pane memusatkan perekrutan kader di mesjid kauman yogyakarta untuk menjaring manusia yang beriman. Pemandangan berbeda kita lihat di zaman sekarang mesjid seolah menjadi hal yang tabu bagi kader HMI.

Masjid merupakan pusat bertemunya kaum muslimin dalam pelaksanaan sholat berjamaah. Dimasa lalu bahkan Rasulullah memusatkan seluruh kegiatan pemerintahan di masjid untuk mengatur kaum muslimin.

Di Zaman khulafaur rasyidin masjid menjadi istana negaranya para khalifah, dari masjid itulah romawi dan persia dapat diruntuhkan oleh umat islam.

Anggota HMI melakukan kesalahan fatal dengan meninggalkan masjid sebagai medan juangnya. Anggota HMI bahkan melakukan rapat-rapat hingga melewati waktu sholat berjamaah.

Lebih parah di malam hari mereka berdiskusi tentang NDP Bab I hingga larut malam, dan meninggalkan sholat subuh.

Akhirnya dalam tulisan yang singkat ini saya selaku kader HMI yang dibesarkan oleh HMI hanya ingin mengutarakan sebuah gagasan untuk kejayaan Himpunan di masa yang akan datang.

Medan juang HMI adalah masjid dan Kampus kalo kita meninggalkan wilayah itu bom waktu akan menjawab nantinya HMI hanya akan tinggal sebagai sejarah romantisme masa lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *