Opini  

Pengembangan Industri di Kabupaten Bintan, Mafia Tanah Merajalela

Ilustrasi (dok/radarsatu)

Kabupaten Bintan merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Kepri, yang saat ini perkembangan pembangunannya cukup baik. Perkembangan tersebut selain didukung oleh kinerja pemerintahan dan investasi khususnya sektor Pariwisata, juga disebabkan oleh penetapan sebagian kawasannya yang merupakan kawasan Free Trade Zone (FTZ) serta Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sehingga penetapan kawasan-kawasan khusus tersebut, telah ikut mendorong perkembangan pembangunan khususnya dalam sektor Pariwisata, Perdagangan dan Industri.

Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bintan, dimana total luas daratan Kabupaten Bintan tercatat mencapai 1.318,21 KM2. Namun dari total luas tersebut, hingga saat ini masih banyak lahan-lahan kosong yang belum dikelola kecuali pada sentra-sentra pemukiman, pemerintahan dan perekonomian. Akan tetapi kondisi lahan yang belum dikelola tersebut bukan berarti tanpa pemilik, dimana hampir seluruh lahan-lahan tersebut dapat dipastikan telah memiliki tuannya masing-masing.

Seiring kebutuhan pembangunan yang semakin meningkat serta semangat pengembangan wilayah berbasis industrialisasi, maka ketersediaan lahan yang memadai menjadi salah satu faktor penting. Namun terkait lahan-lahan di Kabupaten Bintan saat ini, masih banyak ditemukan permasalahan khususnya terkait masalah sengketa bukti kepemilikan tanah.

Selama hampir bertahun-tahun lamanya, permasalahan sengketa lahan di Kabupaten Bintan terus terjadi. Dimana kondisi tersebut disebabkan oleh tumpang tindihnya bukti kepemilikan tanah dengan bukti kepemilikan yang berbeda-beda, seperti Surat Alas Hak dan Sertifikat Hak Milik bahkan ada yang hanya memiliki Surat Sporadik yang didasarkan pada kwitansi jual beli maupun izin tebas.

Dengan kondisi satu lahan namun memiliki pemilik yang berbeda-beda serta bukti kepemilikan yang berbeda-beda pula, menunjukkan bahwa sistem pertanahan selama ini yang menjadi masalah. Hal ini karena tidak jelasnya aturan dalam penerbitan bukti-bukti kepemilikan tanah, dimana banyaknya perangkat yang memiliki wewenang untuk menerbitkan bukti kepemilikan tanah.

Sejak berlakunya UU Agraria, bentuk – bentuk kepemilikan tersebut wajib dikonversikan menjadi Hak Milik dengan Sertifikat Hak Milik. Namun persoalannya, masih banyak juga masyarakat yang belum mengetahui bahkan mengerti bagaimana cara mengkonversikan bukti kepemilikan tanah yang mereka miliki. Hal ini yang kemudian sering dimanfaatkan oleh pihak pihak tertentu.

Kondisi ketidakpahaman masyarakat yang memiliki lahan dengan bukti kepemilikan seadanya, yang kemudian berpotensi menjadi lahan-lahan sengketa. Dimana kondisi tersebut menjadi ladang mencari keuntungan bagi para Mafia Tanah, yang terkadang justru memiliki peran dalam menciptakan lahan-lahan masyarakat menjadi lahan sengketa.

Sepak terjang para Mafia Tanah biasanya mulai dari membeli lahan masyarakat yang hanya memiliki bukti-bukti kepemilikan seadanya dengan harga yang sangat murah. Namun lahan tersebut biasanya dibeli dengan persyaratan tertentu, sehingga pembayarannya tidak dilakukan secara keseluruhan melainkan hanya sebagian.

Adapun yang sering menjadi alasan yaitu ingin memastikan terlebih dahulu legalitas kepemilikan atas lahan tersebut, namun alih-alih dalam proses tersebut sering muncul permasalahan seperti adanya pihak yang juga mengklaim bahkan juga memiliki bukti kepemilikan atas lahan tersebut.

Bagi masyarakat umum yang tidak mengerti persoalan administrasi apalagi persoalan hukum pertanahan, tentu ketika dihadapkan pada persoalan seperti itu akan menjadi dilematis. Disatu sisi ada hak mereka yang belum lunas diselesaikan, namun dilain sisi ada persoalan hukum yang akan dihadapi. Kondisi menyerah pada keadaan, inilah yang memang diharapkan oleh para Mafia Tanah terhadap masyarakat yang menjual lahannya.

Para Mafia Tanah terkadang dalam menjalankan modusnya tidak sendirian, namun juga ada pihak – pihak lain yang secara korporasi saling mendukung. Bahkan ironisnya, ada juga peran dari perangkat Pemerintahan khususnya pada tingkat Desa maupun Kelurahan. Peran mereka biasanya adalah menciptakan bukti – bukti kepemilikan tanah yang baru, sehingga bukti kepemilikan yang ada dapat dianggap bersengketa sebab adanya bukti kepemilikan yang lain.

Permainan para Mafia Tanah memang menghandalkan 2 hal yaitu uang dan kekuasaan. Dengan modal 2 itu, para Mafia Tanah dapat mempengaruhi para aparat untuk memuluskan apa yang menjadi keinginannya.

Bahkan tidak jarang masyarakat yang memiliki lahan dan menjualnya dengan harga murah namun belum lunas dibayar, harus dibawa ke Pengadilan karena skenario Lahan Sengketa. Alih-alih karena tidak adanya kekuatan untuk melawan, masyarakat justru yang kalah di Pengadilan karena dianggap memiliki bukti kepemilikan yang dianggap tidak cukup kuat.

Hal tersebutlah yang juga selama ini terjadi di Kabupaten Bintan, dimana seiring perkembangan pembangunan khususnya pada kawasan – kawasan pengembangan industri menjadi ladang meraup keuntungan bagi para Mafia Tanah. Namun dengan cara harus mengorbankan masyarakat kecil yang memiliki lahan di kawasan – kawasan tersebut.

Dengan membeli lahan dengan harga murah bahkan dengan tidak perlu membayar keseluruhan dari perjanjian jual beli, menjadikan para Mafia Tanah di Kabupaten Bintan menjadi raja – raja kecil yang memiliki lahan yang begitu luasnya. Lahan – lahan tersebut kemudian dijual kembali kepada para Investor yang akan mengembangkan kawasan tersebut dengan harga yang berlipat-lipat ganda dari modal yang mereka keluarkan selama ini.

Disamping itu, terdapat juga Mafia Tanah yang bahkan berani melakukan pemalsuan bukti kepemilikan tanah. Hal ini pernah diungkap oleh Satgas Mafia Tanah Polda Kepri bekerjasama Ditreskrimum Polda Kepri, Polres Bintan dan Kanwil BPN Provinsi Kepri. Dimana dugaan tindak pidana pemalsuan surat tanah atas lahan seluas 48 Hektare, berada di Jalan Lintas Barat KM 32 Desa Bintan Buyu Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten.

Kasus tersebut melibatkan 19 orang jadi tersangka dengan perannya masing-masing, dengan cara membuat surat sporadik dan SKPPT atas lahan yang tidak dikuasainya. Bahkan modus para Mafia Tanah ini juga melibatkan perangkat desa, baik melalui pengukuran tanah hingga mencetak surat sporadik dan SKPPT untuk kepentingan para Mafia Tanah.

Kondisi yang terjadi di Kabupaten Bintan juga terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, sehingga hal ini menjadi atensi dari Pemerintah Pusat. Dimana Presiden Jokowi telah memerintahkan jajarannya untuk menindak tegas keberadaan para Mafia Tanah, karena secara jelas telah merugikan bahkan menzholimi masyarakat kecil.

Kendati Pemerintah Pusat telah berkomitmen akan menindak tegas para Mafia Tanah namun implementasinya di daerah khususnya di Kabupaten Bintan belum berjalan secara optimal. Seharusnya Pemerintah Provinsi Kepri maupun Pemerintah Kabupaten Bintan serta Aparat Penegak Hukum khususnya Satgas Mafia Tanah yang ada, dapat lebih proaktif. Sehingga pemberantasan Mafia Tanah tidak hanya harus menunggu adanya laporan, tetapi dapat lebih peka memetakan potensi kerawanan terhadap modus maupun aktivitas para Mafia Tanah.

Seiring dengan upaya pengembangan Kawasan FTZ maupun KEK di Kabupaten Bintan, maka kebutuhan akan ketersediaan lahan akan semakin tinggi. Apalagi saat ini baik Pemerintah Provinsi Kepri maupun Pemerintah Kabupaten Bintan sedang mempersiapkan Rencana Pembangunan Industri Provinsi maupun Kabupaten / Kota, maka akan memiliki konsekuensi bagi Pemerintah Daerah dalam menyiapkan lahan – lahan sebagai Kawasan Peruntukan Industri.

Jika nantinya Kawasan Peruntukan Industri ditetapkan khususnya di Kabupaten Bintan, maka harga tanah di kawasan – kawasan tersebutpun dapat dipastikan akan meningkat. Kondisi ini hendaknya dapat diantisipasi sedini mungkin, sehingga para Mafia Tanah tidak kembali merajalela dengan melalukan monopoli lahan melalui cara-cara yang mengorbankan masyarakat kecil yang memiliki lahan di kawasan – kawasan tersebut. (Akok)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *