Kaum Muda dan Pemilu 2024

Oleh Muhammad Ravi
Wartawan Muda

Beberapa waktu terakhir ini wacana penundaan pemilu 2024 mulai makin kencang dihembuskan oleh elit partai politik.

Menurut Direktur Visi Indonesia Strategis, Abdul Hamied, Wacana penundaan pemilu ini sangat mengada-ada dan sebenarnya merupakan bagian dari bagaimana memuaskan libido politik Jokowi, atau paling tepatnya orang-orang di inner circle-nya.

Wacana penundaan pemilu ini bisa saja menjadi salah satu alasan kaum muda cenderung benci terhadap politik. Wacana itu mengaminkan bahwa partai politik yang berkuasa sebagai institusi elit dan oligarki.

Dikutip dari Political Academy menyebutkan bahwa setidaknya ada empat alasan anak muda membenci atau bahkan cenderung apatis terhadap politik.

Alasan pertama adalah adanya persepsi dan stigma bahwa politik itu buruk. Politik acap kali diwarnai dengan sesuatu yang jahat, penuh intrik dan provokasi serta saling menjatuhkan.

Hal ini tidak lagi mengherankan, apabila kaum muda tidak tertarik masuk kedalam politik. Kita memang selalu melihat sisi buruk yang dipertontonkan oleh elit politik yang saling menjatuhkan, memfitnah sehingga ini mengusik kaum muda untuk tidak peduli dengan politik.

Alasan kedua adalah ada anggapan bahwa politik itu bisa mengubah karakter seseorang. Anggapan ini menjadi alasan dasar kaum muda untuk cenderung apatis terhadap politik. Kaum muda menganggap ketika orang baik masuk ke dalam politik akan mengubah diri mereka menjadi jahat.

Alasan ketiga adalah dunia politik dianggap mahal, kaum muda menganggap ketika masuk ke dunia politik maka memerlukan modal yang besar. Walau demikian memang kebanyakan politikus memerlukan biaya yang besar ketika adanya kontestasi politik seperti pemilu.

Alasan terakhir adalah partai politik dianggap sebagai institusi elit dan birokratis, oligarki. Kecenderungan ini diperlihatkan elit partai politik yang lebih mementingkan kepentingan kelompok dan orang dekatnya yang mengarah kepada dinasti politik dibanding kepentingan khalayak ramai.

Sehingga hal tersebut juga menyebabkan kaum muda menganggap bahwa masuk dan berkarir di partai politik sulit bahkan mustahil.

Walau demikian, arus politik yang dinamis memang tak mudah diterka. Banyak juga kaum muda yang mulai melek dan peduli terhadap politik bahkan mulai masuk dalam politik praktis.

Data mencatat, perkiraan bonus demografi pada usia produktif alias pemuda mencapai puncaknya pada tahun 2030.

Sehingga tidak menutup kemungkinan tahun politik pada 2024 akan menjadi momentum penting bagi generasi muda memulai arah baru perubahan politik.

Meski 2024 masih beberapa tahun lagi, determinasi politik kaum muda mulai bergema. Entah dalam medan LSM, Media atau bahkan langsung menjadi bagian dari Partai Politik.

Lalu pertanyaannya, perubahan politik seperti apa yang akan dibawa oleh generasi muda, akankah arahnya berbeda dengan yang sekarang atau hanya sebatas pergantian pemain baru?

Oleh karena itu, beberapa tahun kedepan sudah selayaknya menjadi tahun-tahun kaum muda menunjukkan kapasitasnya sebagai politisi yang patut diperhitungkan.

Menunjukan integritasnya sebagai iron stock, pemain baru yang penuh gagasan menghadapi kompleksitas persoalan bangsa.

Namun, politik tetaplah politik. Dinamika yang terjadi dalam beberapa tahun kedepan tidak mesti menjadi acuan penuh dalam bersikap.

Pertandingan masih lama, namun area gelanggang sudah terbuka untuk siapa saja yang berani habis-habisan dalam menyerang atau bertahan terlebih dahulu.

Itulah mengapa kaum muda sudah semestinya mendeterminasi sikap politiknya sejak hari ini atau hanya bersorak-sorai sambil menonton pertandingan dipinggir gelanggang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *