Anggaran Penanganan Virus Covid – 19 Rentan Dikorupsi

Oleh: Suherman, Mahasiswa Ilmu Hukum UMRAH

Dianggarkannya biaya untuk penanganan Virus Covid 19 oleh pemerintah baik ditingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota menjadi sorotan publik untuk mengetahui program atau bidang apa saja yang memiliki pos-pos yang diangarkan dan bagaimana bentuk penyalurannya kepada masyarakat.

Dari Pemerintah Pusat, Presiden Jokowi menganggarkan lewat APBN sebesar Rp 405,1 Triliun. Dengan 3 bidang prioritas seperti bidang kesehatan, bidang perlindungan sosial dan anggaran bidang dunia usaha dalam rangka pemulihan ekonomi, begitu juga dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau lewat APBD sekitar Rp. 705,5 Miliar. Anggaran yang dikukuhkan oleh Pusat dan Provinsi Kepri bisa dikatakan cukup besar, tentunya masyarakat sangat mengharapkan anggaran tersebut dapat membantu khususnya yang terkena dampak virus covid-19.

Namun anggaran tersebut dapat menimbulkan persoalan apabila tidak disalurkan sebagaimana mestinya atau tidak sesuai yang ditetapkan dalam artinya digelapkan bahkan dikorupsi baik oleh oknum Pemerintah maupun penyelenggara penanganan Virus Covid -19.

Kendatipun secara normatif telah diatur di Undang-Undang N0 31 Tahun 1999 Tentang Pemberatasan Tipikor dalam Pasal 2 dan Penjelasannya “Korupsi dalam keadaan tertentu seperti pada saat terjadi bencana alam nasional, krisis ekonomi dan pengulangan korupsi dapat dihukum mati”. Namun alih-alih memikirkan ancaman hukuman mati para pelaku korupsi seakan tidak peduli ancaman hukuman tersebut seperti contoh Kasus Korupsi yang menimpa Residivis Bupati Kabupaten Kudus tahun 2019 di OTT KPK, yang ancaman hukumannya sama dengan hukuman mati tetapi korupsi tetap dilakukan.

Korupsi masih menjadi permasalahan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2018 Indonesia menempati posisi ke-89 dari 180 negara dengan kerugian Negara yang berhasil ditemukan oleh penegak hukum sebesar Rp.5,6Triliun dengan Kriteria Modus Korupsi merugikan keuangan negara seperti Penyalahgunaan Wewenang Rp. 3,6 Triliun dan Mark Up Rp. 541 Miliar. Begitu juga Korupsi di Provinsi Kepulauan Riau semakin meningkat dan dikategorikan masuk dalam Zona Merah berdasarkan Hasil Analisa Pencegahan Korupsi yang dilakukan KPK. Zona merah tersebut didasarkan indeks Korupsi 2017 naik 200%.

Terlebih lagi beberapa satu tahun yang lalu, orang nomor 1 di Kepri yaitu Gubernur Kepri terjaring Operasi Tertangkap Tanggan Oleh KPK dan Divonis Hakim 4 Tahun oleh Pengadilan. Berdasarkan data ICW Tahun 2018, Kepulauan Riau terdapat jumlah 6 kasus yang nilai kerugian keuangan Negara sekitar Rp. 11,6 Miliar.

Indeks tersebut tentunya menjadi informasi atau gambaran untuk masyarakat bahwa tingkat korupsi baik di Pusat maupun Provinsi masih terjadi.

Tulisan singkat ini mencoba mengulas beberapa kemungkinan penganggaran penanganan Covid 19 tarjadinya tindak pidana korupsi. Menurut doktrin dalam studi kejahatan, paling tidak ada 9 tipe korupsi (Eddy O.S Hiariej Jurnal Mimbar Hukum 2019). Pertama, political bribery Kedua political kickback, Ketiga, election fraud, Keempat, corrupt compaign practice. Kelima,discretionary corruption Keenam illegal corruption. ketujuh ideological corruption Kedelapan political corruption, Sembilan mercenary corruption. Dalam 9 tipe korupsi tersebut dimungkinkan ada 3 Tipe Tindak Pidana Korupsi dapat terjadi pada penangganan Covid 19;

Pertama, political kickback, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberikan peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam program di bidang kesehatan tentunya ada sistem kontrak untuk mendapatkan obat-obatan dan alat-alat kesehatan seperti Alat Pelindung Diri (APD) sanitizer, Disenfektan dan lainnya, hal ini tentunya sangat rentan terhadap permainan harga, mengingat hampir seluruh wilayah indonesia mengalokasikan anggarannya dibidang tersebut.

Kedua, discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan. Tentunya dalam kondisi darurat bencana seperti sekarang ini Pemerintah mengambil tindakan cepat dalam penanganan covid 19 kendatipun tidak ada sandaran hukum yang jelas terkait kebijakan tersebut, namun dalam penggunaan discretionary corruption secara normative ada batu uji atau tolak ukurnya yaitu asas-asas umum pemerintah yang baik (AUPB) yang termuat di undang-undang no 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketika kebijikan tersebut tidak bisa di uji dan merugikan keuangan Negara maka dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi.

Ketiga, illegal corruption yakni korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interprestasi hukum. Dapat ditafsirkan bahwa tipe korupsi seperti ini dapat dilihat di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pendemi Covid 19. Pasal 27 ayat 1,2 dan 3 memiki substansi Pertama segala biaya atau kebijakan yang dikeluarkan sudah ditetapkan atau dipastikan bukan merupakan kerugian keuangan Negara, Kedua, Penyelenggara atau pengguna anggaran tidak bisa dituntut baik secara pedata dan pidana, ketiga kebijakan atau tindakan pejabat tersebut tidak merupakan objek gugatan atau tidak bisa diajukan ke PTUN. Sejatinya pasal 27 PERPPU ini sudah jelas mengacaukan bahasa hukum dan bertentangan dengan sejumlah undang-undang yang telah ada karena prinsip Negara hukum apapun segala tindakan kebijakan pemerintah dapat di uji oleh hukum.

Dengan demikian untuk mengantisipasi atau sebagai upaya preventif pencegahan tindak pidana korupsi anggaran Penaganan Covid-19, maka peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengontrol setiap tingkatan proses penyaluran bantuan pemerintah sampai kepada masyarakat sesuai dengan yang dianggarakan. Karena keberhasilan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawah antara lain juga tergantung pada peran serta aktif dan positif dari seluruh masyarakat.

Mengingat bahwa orang-orang dalam pemerintahan merupakan orang-orang yang diberikan kewenangan oleh rakyat, maka rakyat tetap diberikan hak untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *