Rencana Pemindahan Ibu Kota Harus Didukung Regulasi Otonomi Daerah

JAKARTA, – Pemerintah hingga kini terus melakukan kajian pemindahan ibu kota. Mantan Dirjen Otonomi Daerah yang kini menjadi dosen di IPDN, Soni Sumarsono menyebut Kementerian Dalam Negeri harus menjadi leading sector dalam proses pemindahan tersebut. Pasalnya, proses pemindahan ibu kota erat kaitannya dengan regulasi. Hal itu dikatakannya dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Dukungan Regulasi Otonomi Daerah dalam Rangka Rencana Pemindahan Ibukota Negara” di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (09/05/2019).

“Kemendagri harus menjadi leading sector dalam proses ini. Harus ada master plan 2019/2020 sampai 2030, jadi masterplannya 10 tahun tentang apa yang dibangun, bagaimana membangunnya, dan lain-lain,” kata Sumarsono.

Sebagai bentuk implikasi dari adanya kebutuhan pemindahan ibu kota, Kemendagri diminta mengantisipasi hal-hal sebagai berikut:

Pertama, adanya revisi regulasi penetapan ibu kota

“Ada satu kebutuhan untuk merevisi penetapan DKI Jakarta menjadi sebuah ibu kota, yaitu UU Nomor 29 Tahun 2007, intinya fungsi ibu kota tetap berjalan hanya lokasinya saja yang berbeda. Hal ini tentu akan menempatkan peran sentral Kemendagri dalam hal koordinasi, tata kelola pemerintahan dan regulasi,” kata Sumarsono.

Kedua, penyiapaan Draf RUU baru tentang penetapan kota X sebagai ibu kota dengan ditetapkan sebagai daerah khusus ibukota. 

“Perlu ada draf regulasi baru, revisi atau pembatalan regulasi dengan Kementerian/Lembaga atau Pemda,” ungkapnya.

Ketiga, perlu adanya penyesuaian tingkat UU dan PP yang terkait, termasuk UU sektoral serta penyiapan dokumen perencanaan makro seperti tata ruang.

Keempat, adanya satuan Tugas atau unit lintas sektoral untuk menangani dan konsen terhadap proses pemindahan Ibu Kota Negara.

“Butuh keputusan politik yang tegas. Saya merekomendasikan harus ada satgas atau unit/oritas yang menangani ibu kota lintas sektoral,” tegas Sumarsono.

Kelima, diperlukan adanya resolusi konflik sebagai formulasi khusus untuk mengantisipasi konflik sedini mungkin.

Soemarsono menilai pemindahan ibu kota menjadi kebutuhan dan sangat dimungkinkan untuk dilakukan. Pasalnya melihat kondisi Jakarta yang telah lama menjadi sebuah ibu kota negara tak lagi memenuhi syarat penetapan sebuah ibu kota negara. Senada dengan hal itu, Guru Besar IPDN Prof. Djohermasyah Johan menyebut Jakarta sudah menjadi tak ideal lagi dijadikan ibu kota dengan berbagai kompleksitasnya.

“DKI Jakarta sudah dianggap tidak ideal lagi. Karena tidak memenuhi berbagai unsur filosofi sebuah Ibu Kota Negara,”kata Djoehermansyah.

Djoehermansyah memberikan catatan tentang lokasi pemindahan ibu kota, diantaranya:

Pertama, lokasi yang dipilih adalah lokasi yang indah/lokasi terindah di sebuah negara.

Kedua, aman, tidak boleh rawan bencana, rawan kudeta atau pengambil alihan kekuasaan, aman dari gangguan kekacauan.

Ketiga, nyaman dan memiliki konsep  smart city.

Keempat, tertib dan teratur, transportasi juga mendukung, pedestrian yang nyaman, serta mendukung pendidikan juga nyaman.

Diketahui, Pemindahan Ibu Kota DKI Jakarta ke suatu tempat di luar Pulau Jawa bukanlah gagasan baru, bahkan Presiden Pertama RI Soekarno sebelumnya sudah mengantisipasi pemindahan ibu kota ke Kalimantan, namun rencana tersebut tidak berhasil dilaksanakan karena transportasi dan infrastruktur belum mendukung, selain itu Presiden RI Pertama Soekarno ketika itu fokus pada penyiapan penyelenggaraan Asian Games di Jakarta sehingga ide tersebut terhenti. Kemudian pada 17 April 2017 muncul gagasan dari Presiden Joko Widodo yang memerintahkan Bappenas untuk melakukan studi awal tentang pemindahan ibu kota.

(Puspen Kemendagri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *