Mendagri : Pemimpin Itu Milik Semua Bukan Milik Kelompok

SURABAYA — Usai menghadiri acara penganugerahan Astha Brata Utama Pamong Praja kepada Gubernur Jawa Timur, di komplek  Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya, saat diwawancarai para wartawan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kembali menyinggung soal pentingnya menghargai perbedaan pilihan politik. Kata dia, tidak boleh hanya karena berbeda pilihan politik, lantas ada intimidasi.

“Enggak boleh memaksa, orang punya sikap, punya pilihan yang berbeda,” kata Tjahjo di Surabaya, Rabu (9/5).

Tjahjo mengingatkan, Indonesia adalah negara yang majemuk. Terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama. Jadi Indonesia itu bangsa yang penuh warna. Perbedaan menjadi sebuah keniscayaan. Karena itu hargai perbedaan. Perbedaan adalah Rahmat. Bukan ancaman.

“Hargai perbedaan ini, negara kita begitu besar karena kemajemukan karena perbedaan, agama, suku golongan, kelompok, pilihan politik,” katanya.

Karena itu, siapa pun yang tengah memangku amanah menjadi pemimpin harus berdiri di atas semua golongan. Jangan kemudian menonjolkan identitas politik kelompoknya. Pemimpin itu milik semua bukan milik kelompok pendukungnya saja. Ia contohkan Soekarwo Gubernur Jawa Timur. Tidak pernah Soekarwo menonjolkan bahwa dirinya itu adalah ketua partai tertentu. Tapi yang ditonjolkan adalah atributnya sebagai gubernur. Sebagai pemimpin rakyat Jawa Timur.

“Pake Karwo contohnya, walaupun berbeda tapi diterima oleh semua partai. Orang tahunya dia bukan ketua partai tapi dia Gubernur Jatim. Semua terima. Ini yang kita inginkan,” katanya.

Tjahjo melanjutkan, akan sangat berbahaya ketika seseorang atau sekelompok orang memaksakan kehendaknya pada orang atau kelompok lain. Orang boleh saja ingin ganti Presiden. Tapi tunggu saja tanggal mainnya, saat masa kampanye nanti. Tidak seperti sekarang ini, belum juga masa kampanye dimulai, sudah ada yang memaksakan kehendak. Ini bahaya kalau seperti itu.

“Kalau enggak ya bahaya,  orang kumpul berbeda,  ini belum kampanye. Ganti presiden ya nanti ada aturannya, ada kampanyenya di Pilpres. Ini belum ada, namanya saja belum ada. Sekarang mulai saling memaksakan kehendak, kan enggak boleh,” ujarnya.

Jangan sampai, karena masalah politik lantas terjadi gesekan di tengah masyarakat. Atau ada pemaksaan kehendak. Tentu ini akan menimbulkan reaksi. Sangat mungkin, jika tak terkendali bakal menganggu stabilitas baik pusat maupun di daerah. Karena itu ia minta semua elemen bangsa menahan diri.

“Sekarang saja orang yang belum punya capresnya siapa, lawannya Pak Jokowi siapa, cawapresnya siapa, ada yang orang memaksa kehendak kepada Pak jokowi, saya harus wapresnya. Semua ada mekanisme,  ada koridornya,” katanya.

(Humas Kemendagri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *