APBN 2025 Berfokus pada Pemerataan Pembangunan Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif

Kepala Kanwil DJPb Kepulauan Riau Budiman.F-Istimewa

TANJUNGPINANG, Radarsatu.com – Kantor Wilayah Direktorat Jendral Perbendaharaan (Kanwil DJPb) Kepulauan Riau (Kepri), merilis update terkait kondisi perekonomian Kepulauan Riau pada triwulan I 2025 tetap terjaga dengan pertumbuhan 5,16% (yoy). Angka tersebut masih diatas pertumbuhan nasional sebesar 4,87% (yoy) yang masih terdampak trigger perang tarif Presiden Trump.

Tumbuhnya perekonomian Kepri selaras dengan peningkatan share komposisi PDRB Kepri yang didominasi oleh Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 41%-45% dari total PDRB Kepri.

Kepala Kanwil DJPb Kepri, Budiman mengatakan, penguatan komponen ekspor Kepri tersebut didukung dengan keunikan Kepri sebagai daerah Free Trade Zone (FTZ). Kontribusi Fiskal dan APBN juga sangat berperan dalam penguatan pertumbuhan ekonomi Regional Kepri.

“Pemerintah ikut mendorong daya beli masyarakat dengan melakukan stabilisasi harga melalui pengendalian inflasi,” ujarnya.

Disamping itu penyaluran Dana Desa yang positif juga mampu mendorong pertumbuhan Investasi/PMTB. APBN melalui Belanja pegawai, layanan birokrasi, dan administrasi ikut memberikan dukungan kepada ekspansi perekonomian regional guna mendorong pergerakan pertumbuhan ekonomi di Kepri.

Inflasi Provinsi Kepri di bulan Juni 2025 tercatat sebesar 1,32% (yoy) dan mengalami deflasi 0,12% (mtm). Tingkat inflasi terbesar di bulan Juni 2025 didominasi oleh kelompok pengeluaran perawatan pribadi dan jasa lainnya yang mengalami kenaikan sebesar 11,06% (yoy).

“Sementara, kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan terbesar adalah kelompok pendidikan yang turun sebesar 1,84% (yoy),” ungkap Budiman.

Neraca perdagangan Kepri juga terus mencatat kinerja yang baik. Pada bulan Mei 2025, telah mencatat surplus perdagangan sebesar US$112,82 Juta. Surplus perdagangan terjadi akibat komponen ekspor yang mampu tumbuh positif dibandingkan dengan komponen impor.

Menurut Budiman, Surplus tersebut mampu memberikan dukungan bagi ekonomi Kepri untuk tetap tumbuh melalui kegiatan ekspor di Kepri, khususnya mesin/peralatan listrik.

Nilai ekspor pada Mei 2025 tercatat sebesar US$2.386,35 Juta. Nilai ekspor tersebut mengalami pertumbuhan 43,18% (yoy). Peningkatan nilai ekspor Mei 2025 disebabkan oleh naiknya ekspor sektor nonmigas sebesar 44,03% (yoy) sebagai komoditas yang mendominasi ekspor Kepri.

Sementara untuk nilai impor Provinsi Kepulauan Riau pada Mei 2025 tercatat sebesar US$2.273,53 Juta, nilai Impor tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 67,73% (yoy) yang dipengaruhi adanya peningkatan nilai impor nonmigas sebesar 57,48% (yoy).

Kinerja APBN Tetap On Track
Dalam Rapat ALCo Regional Deputies Provinsi Kepri bulan Juli 2025, disampaikan bahwa s.d 30 Juni 2025, Pendapatan Negara di regional Kepri telah terealisasi sebesar Rp6.658,31 miliar atau mencapai 36,88% dari target yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan dan PNBP.

Penerimaan Perpajakan menjadi penyumbang terbesar sebesar Rp5.405,32 miliar atau 81,18% dari total Pendapatan Negara dengan pertumbuhan minus 4,22% (yoy). Kinerja penerimaan tersebut pada APBN Kita didukung oleh kinerja kegiatan ekonomi yang baik, aktivitas produksi dan konsumsi yang terjaga, serta transaksi domestik yang stabil dan berkelanjutan.

Total Belanja APBN di Kepri sampai akhir Juni 2025 sebesar Rp6.207,20 miliar atau telah terealisasi 37,37% dari total Pagu Belanja tahun 2025. Realisasi Belanja Pemerintah Pusat mengalami kontraksi hingga 14,36% (yoy) akibat efisiensi belanja pada satuan kerja.

Komponen Belanja Modal mengalami kontraksi tertinggi mencapai 74,43% (yoy) dipengaruhi oleh kebijakan efisiensi anggaran. Sementara realisasi tertinggi ada pada Belanja Pegawai sebesar Rp1.220,81 miliar atau 54,26% dari pagu dengan pertumbuhan 2,34% (yoy).

Selanjutnya, realisasi penyaluran Transfer Ke Daerah (TKD) Kepri sebesar Rp3.671,76 miliar atau 43,44% dari pagu. Sampai dengan akhir Juni 2025, Belanja TKD turut mengalami kontraksi sebesar 2,83% (yoy) dipengaruhi oleh belum optimalnya penerimaan daerah termasuk kebijakan efisiensi TKD sehingga OPD wait and see terhadap perubahan anggaran.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *