Oleh: Ambok Akok, CEO Radarsatu.com
Di balik aroma bensin yang semerbak di halaman kantor Pemerintah Kabupaten Lingga, tersimpan bau busuk dugaan korupsi yang menyengat. Pengadaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah OPD kembali menjadi sorotan, setelah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya kejanggalan dalam proses pengadaan maupun realisasi anggaran.
Diantara beberapa OPD, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUTR) yang paling mencolok dalam berbagai temuan BPK. Dalam LHP-nya, BPK menemukan terdapat belanja BBM senilai Rp.332.584.258,00 pada Dinas PUTR yang tidak sesuai dengan peraturan dan mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Belanja tersebut tidak dilandasi dengan surat pesanan resmi, sebagaimana mestinya dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Penyedia barang bahkan langsung mengirimkan BBM kepada kapten kapal tanpa proses administrasi yang sah.
Nota tagihan pun hanya ditulis manual, berdasarkan komunikasi telepon, tanpa ada proses verifikasi terkait volume, jenis BBM, maupun waktu penggunaan. Praktik serampangan ini membuka celah manipulasi dan pembengkakan anggaran.
BPK mencatat, akibat kelalaian ini, terjadi pembayaran yang tidak sesuai kenyataan, yang menyebabkan potensi kerugian keuangan daerah sebesar Rp.185.460.000,00, yang terdiri dari Rp.153.120.000,00 untuk BBM jenis Pertalite dan Rp.32.340.000,00 untuk pembelian pelumas kapal.
Lebih memprihatinkan, Kepala Dinas PUTR saat kejadian ini berlangsung, kini telah menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Lingga. Fakta ini tentu menimbulkan pertanyaan publik mengenai integritas dan akuntabilitas kepemimpinan daerah yang saat ini sedang berjalan.
Lebih lanjut, temuan BPK pada tahun 2024 ini bukan yang pertama. Dalam LHP BPK tahun 2023 juga ditemukan penyimpangan serupa dalam pengadaan BBM yang tidak sesuai aturan, sehingga memperkuat dugaan bahwa praktik ini merupakan bagian dari pola pelanggaran yang sistemik.
BPK menilai bahwa lemahnya pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap prosedur, serta minimnya pengawasan menjadi faktor utama penyimpangan ini terjadi berulang kali. Hal ini mencerminkan budaya birokrasi yang permisif terhadap penyimpangan anggaran.
Aparat Penegak Hukum (APH) tentunya diharapkan tidak tinggal diam, berbagai temuan BPK semestinya menjadi pintu masuk untuk penyelidikan dan penindakan dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Dinas PUTR Kabupaten Lingga.
Kepala Dinas PUTR yang bertanggung jawab atas pengelolaan kegiatan saat itu, apakah terlibat langsung atau tidak langsung atas pengambilan keputusan dalam pengadaan BBM ini, semestinya menjadi perhatian serius aparat penegak hukum.
Masyarakat Kabupaten Lingga patut berharap bahwa temuan ini tidak sekadar menjadi laporan tahunan yang disimpan dalam arsip, tetapi menjadi awal dari gerakan bersih-bersih terhadap praktik korupsi yang masih mengakar di tubuh birokrasi.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah adalah amanat konstitusi. Ketika anggaran yang seharusnya digunakan untuk mendukung pelayanan publik justru dicurangi melalui jerigen-jerigen manipulatif, maka yang menjadi korban adalah rakyat.