Lampu Usang, Anggaran Melayang, Dugaan Korupsi Menghantui DPUTR Kabupaten Lingga

F-Ilustrasi/Radarsatu.com

Oleh: Ambok Akok, CEO Radarsatu.com

Aroma penyimpangan anggaran kembali menyeruak dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUTR) Kabupaten Lingga. Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) Tahun Anggaran 2024 mengungkap sejumlah kejanggalan serius yang mengarah pada dugaan korupsi, manipulasi administrasi, dan potensi kerugian keuangan daerah.

Salah satu temuan paling mencolok berasal dari kegiatan belanja alat dan bahan untuk keperluan kantor, khususnya alat listrik. Dalam laporan tersebut, BPK menemukan bahwa kegiatan senilai Rp.49.020.000,00 telah dinyatakan selesai 100 persen, lengkap dengan dokumen administrasi seperti Berita Acara Pekerjaan Selesai.

Namun, saat dilakukan pemeriksaan fisik dan penelusuran dokumen pendukung, ditemukan beberapa item barang yang bermasalah yaitu lampu senilai Rp.31.711.712,00. Barang tersebut ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi yang tercantum dalam kontrak, dan bahkan lebih parah lampu yang dibeli bukan barang baru.

BPK menemukan label garansi pada barang tersebut telah berakhir di tahun 2023, yang artinya barang itu kemungkinan besar merupakan sisa pengadaan lama yang “dipoles” seolah-olah merupakan pembelian baru pada tahun 2024.

Modus ini patut dicurigai sebagai pengadaan fiktif parsial, di mana sebagian barang disediakan seadanya, sisanya diduga dimanipulasi agar anggaran tetap cair sepenuhnya.

Praktik seperti ini tidak hanya melanggar prinsip transparansi, tetapi juga menyakiti akuntabilitas keuangan daerah yang dibiayai uang rakyat.

Tak berhenti di situ, BPK juga mencatat praktik keliru lainnya dalam pencatatan pengeluaran. Dinas PUTR diketahui melakukan pembelian 16 unit lampu senilai Rp.35.200.000,00 yang sebenarnya masuk kategori aset tetap atau belanja modal, karena masa manfaatnya lebih dari satu tahun. Namun, pengeluaran ini justru dicatat sebagai belanja barang dan jasa, sehingga tidak tercatat sebagai aset milik daerah.

Kesalahan pencatatan ini bukan hanya sekadar kekeliruan administratif. Praktik ini membuka celah bagi pemborosan anggaran, karena barang yang tidak tercatat sebagai aset bisa saja diajukan kembali dalam anggaran tahun berikutnya, tanpa diketahui telah dibeli sebelumnya.

Bahkan, ditemukan indikasi bahwa sejumlah lampu yang seharusnya sudah tercatat sebagai aset, justru disulap kembali menjadi pengadaan baru.

Apa yang terjadi di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Lingga ini bukan sekadar salah kelola. Jika ditarik benang merahnya, terlihat adanya modus dugaan manipulasi pengadaan dengan memanfaatkan celah prosedural dan lemahnya pengawasan internal.

Pengadaan barang lama yang dibungkus seolah-olah baru, pencatatan aset yang sengaja dialihkan ke pos belanja tidak tepat, serta penyusunan dokumen administrasi yang formalistik tapi tidak mencerminkan kondisi riil. Semua ini mengindikasikan adanya rekayasa anggaran yang berpotensi koruptif.

BPK dalam rekomendasinya menegaskan perlunya klarifikasi, penyesuaian pencatatan aset, dan pengembalian kerugian keuangan daerah atas pengadaan yang tidak sesuai tersebut. Namun, publik tentu berharap lebih dari sekadar catatan koreksi karena ini menyangkut mentalitas korupsi aparatur pemerintahan yang perlu dibersihkan.

Masyarakat Kabupaten Lingga berhak mendapatkan kejelasan dari Pemerintah Daerah khususnya dari Dinas PUTR dan pejabat yang bertanggung jawab atas berbagai temuan yang merugikan keuangan daerah. Apalagi Wakil Bupati Kabupaten Lingga saat ini, merupakan Kepala Dinas PUTR pada saat itu.

Bupati Lingga dan Inspektorat Daerah diharapkan tidak tinggal diam atas berbagai temuan dalam pengelolaan APBD Kabupaten Lingga. Lebih jauh lagi, aparat penegak hukum didorong untuk menindaklanjuti temuan BPK secara serius, bukan hanya sebagai data statistik tahunan.

Korupsi tidak selalu datang dalam bentuk amplop di bawah meja, ia bisa bersembunyi dalam berita acara palsu, spesifikasi yang direkayasa, dan barang usang yang dikemas ulang. Jika praktik ini dibiarkan, maka keuangan daerah akan terus terkuras, dan pembangunan hanya akan menjadi slogan kosong di atas kertas.

Skandal ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi, pengawasan ketat, dan komitmen moral dalam pengelolaan keuangan publik. Tanpa itu, APBD hanya akan menjadi ladang bancakan, dan rakyat akan terus menjadi korban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *