KARIMUN, Radarsatu.com – Warga Desa Sugie, Kecamatan Sugie Besar, menyesalkan sikap Pemerintah Kabupaten Karimun yang bungkam seribu bahasa menyikapi terkait dugaan penjualan ratusan hektar hutan mangrove di Desa Sugie.
Hal ini semakin memicu tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Warga Desa Sugie merasa terabaikan dan dirugikan, menduga ada “sesuatu” di balik sikap diamnya Pemkab dalam kasus yang melibatkan kelompok masyarakat dan Kepala Desa Sugie ini.
Sejak isu penjualan 83 hektare hutan mangrove yang terdiri dari 45 sporadik ke perusahaan mencuat pada 27 Januari 2025, masyarakat Desa Sugie tak henti-hentinya bersuara.
Berbagai upaya telah ditempuh: aksi protes, desakan ke aparat penegak hukum, hingga Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Kabupaten Karimun dan bahkan DPRD Provinsi Kepulauan Riau. Namun, respon dari Pemkab Karimun dinilai warga masih jauh dari harapan.
“Kami sudah berteriak ke mana-mana, dari level Desa sampai provinsi, tapi Pemkab Karimun seperti membisu seribu bahasa,” keluh seorang tokoh masyarakat Desa Sugie yang enggan disebutkan namanya.
Sempat beredar pernyataan dari Bupati Karimun yang mengklaim bahwa permasalahan mangrove di Desa Sugie sudah “aman”, padahal di lapangan, masyarakat masih terus berjuang dan merasa dirugikan.
Pernyataan tersebut justru menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat, yang menilai bahwa Bupati tidak memahami akar permasalahan sebenarnya yang terkait dengan perusakan dan pencaplokan hutan mangrove.
Masyarakat menegaskan bahwa isu utama bukan hanya soal investasi atau lapangan kerja, tetapi tentang kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat pesisir yang bergantung pada ekosistem mangrove.
Tim DPD KPK Tipikor Karimun juga telah menyuarakan keprihatinan mendalam dan mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini.
Mereka menyoroti dugaan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu, potensi adanya penyalahgunaan wewenang dan indikasi korupsi juga perlu diusut tuntas.
Meski Kepala Desa Sugie, Mawasi, sempat mengklaim adanya “miskomunikasi” antara warga dan pihak perusahaan, masyarakat tetap bersikukuh agar 57 surat sporadik yang dibatalkan segera di kembalikan bukti fisiknya dan lahan mangrove dikembalikan pada fungsinya semula.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen Pemerintah Kabupaten Karimun dalam menjaga kelestarian lingkungan dan melindungi hak-hak masyarakat. Masyarakat berharap pemerintah dapat bersikap lebih proaktif, transparan, dan tidak monoton dalam menyikapi persoalan vital ini.
Sikap diam dan terkesan cueknya Pemerintah Kabupaten Karimun dalam menghadapi persoalan vital ini menimbulkan banyak pertanyaan di benak masyarakat. “Apakah Pemkab memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu? Atau justru ada kepentingan lain di baliknya?” tanya seorang warga lainnya.
Kami lanjutnya, cuma ingin kejelasan dan keadilan. Jangan sampai masyarakat kecil terus-terusan jadi korban.
Masyarakat Desa Sugie berharap Pemkab Karimun segera bangun dari tidur panjangnya dan memberikan respons yang konkret, transparan, dan bertanggung jawab. Keheningan ini justru memperkuat dugaan adanya hal-hal yang tidak beres di balik penjualan hutan mangrove yang sangat berharga ini.
Sampai kapan Pemkab Karimun akan terus membisu? Dan, ada apa sebenarnya di balik keheningan ini? Masyarakat Desa Sugie menanti jawaban dan tindakan nyata.*