Banjir, Akibat Curah Hujan atau Curah Izin?

Oleh: Muhammad Ravi
Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP UMRAH

Memasuki bulan Januari tahun 2021, sejumlah daerah di Indonesia terjadi bencana, mulai dari bencana gempa bumi di Sulawesi Barat, tanah longsor di Jawa Barat, dan banjir di Kepulauan Riau serta Kalimatan Selatan.

Untuk menghadapi berbagai bencana baik bencana alam, bencana non alam maupun bencana sosial, diperlukan upaya penanggulangan. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.

Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan atau untuk mengurangi bencana.

Dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Salah satu tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai UU tersebut adalah pengurangan risiko bencana dan pemanduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan.

Bencana banjir menjadi hal yang menarik untuk menjadi diskursus kita bersama bahwa secara umum bencana ini dapat terjadi akibat alam itu sendiri atau akibat ulah tangan manusia.

Dalam postingan presiden Joko Widodo di beberapa akun media sosialnya menyebutkan bahwa banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan karena curah hujan yang tinggi selama sepuluh hari berturut-turut yang mengakibatkan air di sungai Barito meluap.

Baca Juga :  Pemulihan Ekonomi Kepri di Tengah Kenaikan Harga BBM

Postingan tersebut mendapat reaksi dari berbagai kalangan mulai dari akademisi, aktivis lingkungan maupun lembaga swadaya masyarakat.

“Kalau soal perahu karet, tanpa perintah presiden pun, tim lapangan paham. Porsi presiden itu memerintahkan evaluasi izin dan audit lingkungan semua sektor ekstraktif di Kalimantan, agar banjir dan asap tidak terjadi lagi. Meski semua tahu, mustahil mengharapkan ini dari Anda.” (Dalam cuitan Dandhy Laksono, Jurnalis Wacthdoc)

Kemudian greenpeace Indonesia dalam cuitannya menyebutkan “Kerusakan ekologi yang belum juga menjadi perhatian serius pemerintah @jokowi, mengantar pada bencana yang kembali mengawali awal pergantian tahun. Banjir Kalsel di awal tahun ini bukanlah yang pertama terjadi, tapi justru menimbulkan dampak yang kian parah.”

Lalu Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Johansyah kepada yang dikutip dalam Tirto.id berpendapat bahwa banjir terjadi karena eksploitasi berlebihan perusahaan sehingga alam rusak. “Ekosistemnya memang dirusak oleh perizinan tambang dan sawit. Kawasan-kawasan yang punya fungsi ekologi terganggu, semisal kawasan gambut, hulu, badan sungai, dan kawasan karst,”

Dari tiga pendapat diatas kita menyadari bahwa pemerintah pusat melalui presiden seharusnya mengevaluasi izin dan audit lingkungan semua sektor ekstraktif di Kalimatan yang berakibat pada kerusakan ekologi dan terganggunya ekosistem yang berdampak buruk bagi lingkungan sehingga menyebabkan banjir.

Greenpeace Indonesia dalam tweetnya yang lain juga menyebutkan bahwa lebih dari separuh hutan Kalimantan hilang dalam 50 tahun terakhir, berganti dengan perkebunan monokultur dan lubang tambang batu bara. Walhi mengatakan dalam CNN Indonesia, di era presiden Jokowi seluas 427.952 Ha hutan Kalimantan jadi konsensi, luas tersebut bisa kita bayangkan dengan setara kurang lebih 6 kali luas DKI Jakarta, dan dengan luas konsensi sebanyak itu artinya kita bisa membangun 6 ibukota baru.

Baca Juga :  Kota Kijang dan Jejak Masa Lalu

Data Global Forest Watch menunjukkan Indonesia kehilangan 324.000 hektar hutan primer, setara dengan 187 megaton emisi karbon dioksida pada 2019.

Data tersebut juga menyebutkan total lahan hutan primer yang hilang di Indonesia sebanyak 9,4 juta hektar dalam periode 2001 hingga 2019.

KLHK dalam detik.com juga mengatakan bahwa dalam periode tahun 1990 hingga 2019 luas hutan di Kalimantan Selatan mengalami penurunan hingga 62,8% dan hutan alam tersisa 15%.

Arie Rompas, ketua tim kampanye hutan dari Greenpeace Indonesia menyebutkan dalam ABC Indonesia bahwa bencana-bencana ini berkaitan erat dengan akumulasi kerusakan hutan yang berdampak pada perubahan iklim.

William Dunn dalam buku Kebijakan Publik, mengemukakan evaluasi memiliki arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program, yang mencangkup kesimpulan, kritik, klarifikasi, penyesuaian dan perumusan masalah kembali. Evaluasi memiliki beberapa fungsi utama dalam analisis kebijakan, pertama evaluasi memberi informasi valid dan dapat dipercaya mengenai kriteria kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan yang telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan dan target tertentu telah dicapai.

Baca Juga :  Makna Kemerdekaan Membangun Tanpa Intervensi

Kembali ke UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Salah satu tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai UU tersebut adalah pengurangan risiko bencana dan pemanduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan.

Pemerintah selaku penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam mengurangi risiko bencana dan pemanduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan dapat dikatakan belum optimal, hal ini bisa kita lihat dari banyaknya izin tambang dan perkebunan sawit yang “kasat mata” dari pengawasan dan penindakan pemerintah kepada korporasi yang nakal dan tidak bertanggungjawab sehingga ekologi rusak dan ekosistem terganggu sehingga menjadi salah satu akumulasi dari penyebab banjir yang terjadi dan perubahan iklim ekstrim.

Lantas setelah ini apakah kita tetap dalam anggukkan kepala mengamini pernyataan presiden bahwa banjir yang terjadi akibat curah hujan atau curah izin?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *