Golput Tanda Penyesalan

Oleh : Veronika Magdalena
(Mahasiswa UMRAH) Nim : 170388203030

Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, maka kekuasaan untuk menentukan corak dan cara pemerintahan sesungguhnya berada ditangan rakyat. Kedaulatan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan UUD, yaitu oleh lembaga negara dan oleh rakyat yang diantaranya melalui mekanisme pemilihan umum sebagaimana diatur dalam pasal 22E UUD 1945. Pemilihan umum juga dapat dilihat sebagai mekanisme yang menghubungkan antara infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Pemilu juga merupakan mekanisme transformasi aspirasi politik partai menjadi kebijakan negara.

Pentingnya pemilihan umum diselenggarakan secara berkala dikaerenakan oleh beberapa sebab. Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam jangka waktu tertentu dapat saja terjadi bahwa sebagian besar rakyat berubah pendapatnya mengenai sesuatu kebijakan negara. Kedua, disamping pendapat rakyat dapat berubah dari waktu ke waktu , kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula berubah, baik karena dinamika dunia internasional ataupun karena faktor dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor eksternal manusia. Ketiga, perubahan – perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka itu, terutama para pemilih baru (new voters) atau pemilih pemula, belum tentu mempunyai sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Lagi pula, keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan Negara, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif.

Dalam perpolitikan di Indonesia, gerakan golongan putih(golput) mulai popular di era tujuh puluhan, yang dipelopori oleh Arif Budiman. Golongan ini timbul, akibat ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu tahun 1971. Pemilu 1971 yang menurut kalangan aktivis kampus pada saat itu, merupakan ajang penipuan sistematis terhadap rakyat. Untuk menyikapi situasi tersebut, mereka melakukan apa yang disebut sebagai “counter culture”, untuk menggugat system politik yang ada. Gerakan ini pun didominasi oleh cendekiawan muda yang umurnya berasal dari kampus. Protes pertama mereka adalah dengan mengumandangkan ide “tidak ikut pemilu”. Ide yang kemudian terkenal dengan sebutan “golput”. Gerakan yang awalnya dimotori oleh komunitas kampus pun lambat laun melebar dan akhirnya bisa diterima, khusunya oleh masyarakat “melek” politik.

Konsep demokrasi pada hakikatnya mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan konsep pemilu. Berangkat dari pengertian demokasi yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka hal ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara berada di tangan rakyat dan segala tindakan negara ditentukan oleh rakyat. Untuk mewujudkan pengertian tersebut maka pemilu dipercaya sebagai suatu cara untuk mengangkat eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara.

Pelaksanaan demokrasi melalui pemilu dirancang untuk menggantikan sistem pengangkatan dalam bentuk Negara Monarki yang dinilai cenderung memunculkan pemimpin yang otoriter. Walaupun demikian, harus kita akui bahwa pelaksanaan demokrasi melalui pemilu bukanlah sistem yang sempurna yang tidak mempunyai kelemahan-kelemahan. Pemilu akan mencapai tujuan utamanya yaitu melahirkan para pemimpin amanah yang mensejahterakan rakyat, apabila negara yang akan menerapkan demokrasi tersebut benar-benar telah siap untuk hidup demokrasi.

Tanjungpinang merupakan salah satu pulau di Kepulauan Riau yang memiliki jumlah penduduk sampai dengan tahun 2017 sebesar 260.516 jiwa, terdiri dari 132.656 jiwa laki-laki dan 127.873 jiwa perempuan. Pada saat pemilihan Gubernur beberapa tahun lalu, masih banyak penduduk tanjungpinang yang tidak memilih “Golput” yaitu sekitar 38%. Ini artinya penduduk tanjungpinang yang menggunakan hak pilihnya sekitar 62%. Sementara KPU menargetkan angka partisipasi pemilih di atas 70 %. Partisipasi penduduk dalam pemilu merupakan wujud penyaluran aspirasi masyarakat didalam perjalanan Negara dan bangsa Indonesia, sebagai warga negara Indonesia yang bertanggung jawab. Sebaliknya, pengabaian hak pilih berdampak negatif bagi pembangunan Indonesia.

Pengabaian hak pilih memiliki 3 (tiga) dampak negatif yaitu pertama, program pembangunan yang disiapkan oleh presiden yang terpilih berpotensi tidak didukung oleh mayoritas penduduk. Salah satu alasannya adalah karena penduduk yang tidak menggunakan hak suaranya tidak merasa menjadi pendukung dari program tersebut. Oleh sebab itu, potensi gagalnya pencapaian tujuan pembangunan menjadi cukup besar, dan ini sangat berbahaya bagi suatu Negara yang umur demokrasinya masih muda. Kedua, kelompok yang tidak menggunakan hak suara pada saat pemilu berpotensi menjadi kekuatan yang dapat melakukan “sabotase” atas program-program yang telah disusun oleh pemerintah yang dikomandoi oleh Presiden terpilih. Resiko ini dapat berupa “pembelokan” arah pembangunan, maupun berupa hambatan yang dapat memperlambat laju pembangunan. Ketiga, kelompok yang tidak menggunakan hak suara,secara politis merasa berada diluar dari sistem politik yang dibangun, sehingga mereka dapat menganggap dirinya tidak bermasalah jika tidak memberikan dukungan kepada pemerintah yang dipimpin oleh Presiden terpilih.

Pemilihan umum yang ada di Indonesia baik di pemerintahan kota, daerah maupun pusat, hendaklah seluruh penduduk Tanjungpinang menggunakan hak pilih yang sudah di jamin oleh UUD 1945. Karena hak suara rakyat menentukan pembangunan Indonesia kedepannya. Pada tanggal 17 April 2019, akan ada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Kota, DPR Ri, dan DPD, gunakan hak suara dan jangan golput, karena golput adalah tanda penyesalan. Satu suara sangat mempengaruhi pembangunan Indonesia kedepan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *